TATANAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN SOSIAL
Seperti yang diterangkan pada pembahasan sebelumnya, setiap masyarakat
dipastikan memiliki lembaga kemasyarakatan. Lembaga kemasyarakatan yang ada
dalam masyarakat sangat mungkin berbeda satu sama lain tergantung pada
kebudayaan yang disandang oleh suatu masyarakat. Pada dasarnya lembaga
kemasyarakatan memiliki fungsi-fungsi berikut, yakni:
1. Memberi pedoman pada anggota
masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk
memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
2.
Menjaga keutuhan
masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
3.
Memberikan
pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Dalam pembentukannya lembaga
kemasyarakatan berarti pula seperangkat norma dalam masyarakat yang dijadikan
acuan bagi anggotanya. Dalam pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan,
norma-norma tersebut mengalami beberapa proses:
1.
Pelembagaan atau institutionalization,
proses yang dilewati suatu norma menjadi bagian dari salah satu lembaga
kemasyarakatan hingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati
dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Melembaga atau internalized,
norma-norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai tahap dikenal, diakui,
dan ditaati. Lebih jauh, norma-norma tersebut menjadi pandangan hidup atau
mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Masyarakat yang tersusun atas
individu berupaya menyusun suatu tata kehidupan yang bersifat tertib
menyeluruh. Perlu diperhatikan bahwa daya adaptasi tiap individu dan juga cara
pandang individu terhadap tata tertib kehidupan tersebut sangat beragam. Ada
yang sepakat dan turut dalam tata tertib yang menjadi standar dan adapula yang
tidak menyepakati standar tersebut, bahkan menyimpang dari acuan standar dalam
masyarakat.
A. PENYIMPANGAN/DEVIANCE
Penyimpangan atau deviance ditujukan pada
perilaku manusia yang menyimpang terhadap norma-norma dan nilai-nilai standar
masyarakat. Deviasi pada masyarakat sederhana yang relatif statis tidak akan
disukai oleh sebagian besar golongan masyarakat tersebut (Soekanto 2003:216).
Pada prinsipnya deviasi terhadap kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat
diperlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri dari para pelaku
deviasi.
Tindakan deviasi dalam banyak hal tidak selalu
bertentangan dengan kaidah hukum dalam masyarakat. Sebagai contoh apakah orang
berbaju terbalik atau berjalan mundur merupakan sebuah bentuk tindakan melawan
hukum? Hal tersebut dinyatakan sebagai sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh
orang banyak. Dalam banyak kasus suatu fenomena devian yang dipandang tak lazim
atau tak disukai oleh masyarakat lambat laun dirasakan manfaatnya dan akhirnya
malah tindakan yang asalnya menyimpang tadi diterima pula oleh masyarakat
secara luas, terutama sejauh tidak melanggar aturan hukum.
Sebagai contoh kasus tersebut di atas adalah fenomena
waria. Waria pada masa lalu merupakan tindakan yang dianggap menyimpang dari
kaidah-kaidah normatif masyarakat, melalui nilai humor yang dikemas dalam
bentuk waria terutama oleh media, waria bahkan menjadi daya tarik utama bagi
masyarakat dan masyarakatpun menerima keberadaan waria. Meski telah diterima,
maraknya fenomena waria membuat dikeluarkannya kebijakan untuk menghentikan
tayangan-tayangan waria. Bolehlah kita untuk menduga adanya maksud tersembunyi
(hidden agenda) dari suatu kelompok yang menginginkan liberasi kaum
waria.
Contoh deviasi yang monumental adalah fenomena punk (Hebdige,
1979). Punk dianggap devian oleh sebagian besar warga Inggris pada mulanya,
meski tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum formal (Hawthorn, 1981).
Golongan punk yang didominasi oleh kaum pekerja Inggris memunculkan
simbol-simbol yang tak lazim secara konsensus masyarakat. Potongan rambut mohawk,
peniti, sepatu lars, atau kalung gembok memiliki arti-arti tersendiri yang
dipahami oleh golongan punk, serta musik “tiga chord”, dan kritik dalam
lirik-lirik musiknya nyaris tidak ada dalam kamus kehidupan masyarakat
(terutama masyarakat kapitalis). Punk itu sendiri secara ideologis menentang
bentuk-bentuk kapitalisme eksploitatif yang dikembangkan negara-negara di Eropa
dan Amerika. Masyarakat Inggris saat itu tidak menerima sama sekali jenis gaya
hidup tersebut namun sebaliknya gaya hidup punk justeru diadopsi
dan berkembang secara masif dalam bentuk pop bercorak ala punk yang jauh dari
ideologi punk itu sendiri, melainkan berdandan seperti punk dan masuk dalam
pusaran industri musik dunia kapitalisme (mengalami komodifikasi).
Kajian mengenai deviasi telah banyak dikembangkan oleh
ahli ilmu sosial atau sosiologi pada khususnya (Soekanto, 2003:216). Robert K.
Merton dalam karyanya Social Theory and Social Structure (1967) melihat
terjadinya deviasi dari sudut struktur sosial dan budaya. Menurut Merton di
antara segenap unsur sosial dan budaya dari setiap masyarakat, terdapat dua
unsur terpenting, yakni:
1. Kerangka aspirasi; dan
2. Unsur/saluran yang mengatur
segala kegiatan untuk mencapai aspirasi.
Menurut
Merton, dalam setiap nilai sosial-budaya terdapat konsepsi mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Diperlukan kaidah-kaidah untuk
mengatur kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus kaidah
tersebut menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam masyarakat. Bila
terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran aspirasi akan
menyebabkan terbentuknya perilaku menyimpang (deviant behavior).
Artinya perilaku menyimpang terjadi bila manusia atau individu lebih
mementingkan suatu nilai sosial-budaya daripada kaidah-kaidah untuk
mengatur hidupnya.
Argumentasi Merton tersebut menunjukkan terjadinya gejala
memudarnya kaidah-kaidah dalam masyarakat. Masyarakat pada gilirannya tidak
lagi berpegang pada kaidah-kaidah untuk mengatur diri dan tertib sosialnya
dan menimbulkan keadaan yang tidak stabil. Keadaan masyarakat yang tidak stabil
atau tanpa kaidah dinyatakan sebagai anomie. Secara langsung pendapat
Merton merujuk pada pengertian, deviasi terjadi sebagai respon terhadap
anomie.
B.
CONFORMITY
Conformity memiliki pengertian proses penyesuaian diri dengan
masyarakat. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara mengindahkan atau mentaati
kaidah dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Seperti yang telah
dikemukakan di atas, kaidah diperlukan sebagai pengatur hubungan antar
seseorang dengan orang lainnya, atau seseorang dengan masyarakatnya.
Masyarakat yang homogen dan tradisional biasanya memiliki
sifat conformity yang relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat
yang heterogen. Tradisi yang dipelihara dan dipertahankan dengan kuat
menyebabkan warga masyarakat yang homogen atau tradisional tidak memiliki
pilihan lain kecuali menyesuaikan diri terhadap kaidan dan nilai yang berlaku.
Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, masyarakat tradisional akan cenderung
seragam dan tidak melakukan pemilihan gaya berpakaian yang tidak umum dengan
orang sekitarnya. Bila terdapat individu yang agak berbeda dari segi penampilan
pakaiannya, ia akan mendapatkan celaan dari anggota masyarakat yang lain karena
dianggap tidak biasa atau melanggar kaidah dan nilai masyarakat. Bandingkan
dengan apa yang terjadi dalam latar lingkungan perkotaan!
Dalam masyarakat tradisional dengan tradisi sangat kuat,
kaidah-kaidah yang berlaku secara turun temurun telah mengakar dari satu
generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak mengalami perubahan. Standar yang
digunakan adalah standar warisan nenek moyang atau generasi terdahulu. Apalagi
bila masyarakat tradisional tersebut sangat minim intensitas bersentuhannya
dengan dunia luar. Tindakan-tindakan yang menyimpang dari tradisi juga
minim. Hal ini menunjukkan bila suatu masyarakat terbuka terhadap dunia luar
atau memungkinkan terjadinya pertemuan kebudayaan-kebudayaan, potensi
terjadinya deviasi cukup besar karena memungkinkan orang untuk memilih suatu
nilai kebudayaan yang ia terapkan pada kehidupannya sehari-hari. Fenomena ini
biasa terjadi pada masyarakat-masyarakat perkotaan atau masyarakat industri.
Masyarakat di kota-kota besar pada umumnya terdiri dari
individu yang berlainan keadaannya. Para anggota masyarakat perkotaan
senantiasa berupaya menyesuaikan diri dengan berbagai macam dan bentuk
perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Kota pun dianggap sebagai
gerbang masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang didukung piranti mutakhir
dalam bidang informasi dan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar,
ataupun internet. Hal ini memungkinkan masyarakat perkotaan mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi di luar lingkungannya. Sebagai contoh gaya
berpakaian atau pola makan Saudara pun sangat mungkin dipengaruhi oleh suasana
budaya yang berasal dari luar daerah Anda, yang berbeda dengan kaidah-kaidah
umum setempat. Maka dengan demikian, conformity di kota-kota besar
sangat kecil.
Conformity pada masyarakat kota besar, pada tataran tertentu,
dianggap sebagai hambatan kemajuan dan perkembangan bagi individu. Sifat dasar
dari conformity menghasilkan kepatuhan dan ketaatan penuh seringkali
dikritisir sebagai pembatas potensi-potensi yang dimiliki secara individu. Rasionalitas
sebagai ciri masyarakat perkotaan mendorong individu mengkritisir apa yang ia
anggap cocok. Pada suatu suasana kehidupan, Saudara mungkin melakukan conformity
atas kaidah lingkungan namun di sisi lain Saudara melakukan tinjauan
kritis dan melepaskan diri dari kaidah-kaidah umum yang berlaku.
Sebuah tesis mengenai kebudayaan dominan pernah
dirumuskan oleh Brunner pada tahun 1970-an di Kota Bandung. Temuan dari
penelitian Brunner menunjukkan bahwa Bandung memiliki kebudayaan dominan yaitu
kebudayaan Sunda. Setiap pendatang dari luar daerah Bandung atau pendatang yang
bukan penyandang kebudayaan Sunda melakukan konformitas terhadap kebudayaan
dominan yang ada. Para pendatang menggunakan bahasa Sunda seperti halnya
penduduk asli Kota Bandung dalam interaksi mereka sehari-hari. Unit
kajiannya adalah masyarakat asal Batak Toba. Tidak mengherankan bila di Kota
Bandung ini banyak warga keturunan Batak Toba yang mahir berbahasa Sunda,
bercara hidup seperti orang Sunda, dan adapula yang secara total meninggalkan
adat kebiasaannya di daerah asal; meski dalam kesempatan tertentu identitas
sebagai Batak Toba dimunculkan kembali dalam pertemuan-pertemuan internal
etnis. Etnis-etnis lainpun mengadaptasikan dirinya dengan kebudayaan dominan
Bandung. Secara langsung terjadi penyesuaian atau konformitas warga non Sunda
terhadap kaidah-kaidah yang dianut oleh penduduk asli Kota Bandung. Kota
Bandung sekarang bukanlah kota Bandung tahun 1970-an, berbagai perubahan telah
terjadi, dan kebudayaan dominan, serta kaidah-kaidah yang berlaku pada tahun
1970-an pun mengalami pergeseran. Apakah tesis Brunner tersebut masih relevan
bila diaplikasikan pada masyarakat yang telah mengalami pergeseran dan
perubahan kaidah-kaidah masyarakatnya?
C.
PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial (social control) merupakan sebuah sistem atau
dinamakan juga sistem pengendalian sosial. Akhir-akhir ini istilah social
control diartikan secara sempit yaitu pengawasan masyarakat terhadap
jalannya pemerintahan. Social control tidak sesempit itu, yaitu
mencakup segala proses yang direncanakan mapun tidak, bersifat mendidik,
mengajakan, dan bahkan memaksa anggota masyarakat untuk mematuhi kaidah dan
nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dapat berlangsung antar
individu, semisal seorang ayah menentukan garis masa depan anak-anaknya agar
sesuai dengan keinginan pribadi si ayah. Secara antar kelompok, pengendalian
sosial dapat juga dilakukan, misalnya kaum minoritas melakukan pengendalian
kepada kaum mayoritas untuk mengikuti kaidah-kaidah kaum minoritas. Demikian
pula proses pengendalian sosial dapat dilakukan oleh kelompok kepada individu
dan sebaliknya. Hal ini seringkali tidak disadari oleh manusia bahwa
sesungguhnya dalam kehidupan sehari-harinya selalu terikat oleh sistem pengendalian
sosial.
Tujuan dari pengendalian sosial adalah mencapai keserasian antara
stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa
adanya pengendalian, kehidupan sosial akan mengalami kekacauan yang
mengakibatkan suasana chaos, karena pada hakikatnya kehidupan manusia
terdiri atas kepentingan-kepentingan yang pada kenyataannya seringkali
berbenturan. Dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial bertujuan menciptakan
keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan
(Soekanto, 2003:206).
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif atau bahkan
keduanya secara sekaligus. Prevensi merupakan usaha pencegahan terhadap
gangguan-gangguan pada harmoni antara kepastian dengan keadilan,
dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan baik formal maupun informal.
Represi merupakan usaha pengembalian keserasian yang pernah mengalami gangguan,
dilakukan dengan penjatuhan sanksi terhadap pihak yang melanggar kaidah yang
berlaku.
Proses pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara tanpa paksaan
(persuasif) dan juga cara paksa (koersif). Cara yang ditempuh dilihat
berdasarkan siapa yang melakukan pengendalian sosial dan dalam keadaan apa cara
tersebut ditempuh. Penjalan pengendali sosial dapat dilihat apakah bersifat
otoriter atau tidak, bila otoriter maka pengendalian sosial lebih mengedepankan
sikap koersi daripada persuasi. Pada masyarakat yang stabil dan tenteram, cara
persuasif lebih efektif daripada paksaan, sebaliknya dalam situasi chaos, cara
represif lebih efektif dibandingkan metode persuasif.
Selain cara persuasif dan represif, ada pula teknik-tekni pengendalian compulsion
dan pervasion. Cara compulsion merupakan penciptaan situasi
sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat dan mengubah sikapnya, secara
tidak langsung menciptakan kepatuhan. Cara pervasion dilakukan
melalui pengulangan penyampaian norma dan nilai sedemikian rupa sehingga masuk
ke dalam bawah sadar seseorang dan mengubah sikapnya sehingga serasi dengan
norma atau nilai yang disampaikan.
Agar hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat tercipta seperti yang
diharapkan, norma-norma diaktifasi dan memiliki kekuatan mengikat yang
berbeda-beda. Untuk membedakan kekuatan mengikat dari norma-norma, dikenal
adanya empat pengertian:
a. Cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk
perbuatan.
b. Kebiasaan (folkways), menunjuk pada perbuatan
yang diulang-ulang dalam bentuk sama; pelanggaran terhadap kebiasaan tidak
memiliki sanksi keras, hanya berupa gunjingan.
c. Tata kelakuan (mores), merupakan
kebiasaan yang dianggap cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur.
Sanksi atas pelanggaran mores cukup keras; dapat berupa caci maki atau hinaan
d. Adat (custom), merupakan tata kelakuan yang
kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat
istiadat dilanggar, sanksi yang diterima pelanggarnya sangat keras dan dapat
menyebabkan penderitaan baik fisik maupun mental, misal dipenjara, dipasung,
atau dikucilkan, disiksa, dan bahkan dibunuh.
Alat pengendali sosial yang digunakan sangat beraneka ragam. Setidaknya
terdapat dua sifat, yaitu pengendalian sosial formal, contohnya pendidikan dan
aturan hukum tertulis. Pengendalian bersifat informal seperti tata krama.
Alat-alat tersebut dibangun agar pengendalian sosial dapat berjalan secara
efektif.
Pengendalian sosial melibatkan atribut sanksi bagi para pelanggar kaidah,
nilai, atau norma dalam masyarakat. Pelanggar norma hukum formal yang berlaku
dalam masyarakat akan menghadapi sanksi hukum yang berwujud dalam bentuk pidana
maupun perdata sesuai dengan aturan formal yang ada. Pelanggar terhadap norma
tak tertulis, dapat dikenai gunjingan, pengucilan (alienasi) secara
adat oleh suatu kelompok masyarakat yang memandang terjadinya pelanggaran
norma. Terkadang dalam suatu kelompok masyarakat, sanksi secara informal
lebih efektif dalam pengendalian sosial. Sanksi sosial seperti gunjingan atau
pengucilan tak jarang menyebabkan sesorang mati secara sosial; hidup dan
berwujud namun tidak dianggap keberadaannya oleh anggota masyarakat lain.
Lazimnya penerapan pengendalian sosial dilakukan secara bertahap dari yang
paling lunak hingga paling keras. Apabila tindakan yang lunak tidak diindahkan
oleh seseorang yang melanggar maka tingkatan berikutnya diambil. Contohnya bila
seorang mahasiswa melanggar ketentuan administratif universitas, langkah paling
awal adalah diberikan peringatan untuk tidak melanggar dan memperbaiki
sikap. Bila mahasiswa tersebut masih melanggar, ia akan mendapat skorsing
untuk beberapa waktu dan bahkan bisa saja ia dikeluarkan dari universitas.