Kamis, 23 Agustus 2012

PARADIGMA DI DALAM TEORI-TEORI ILMU SOSIAL



A.            PARADIGMA FAKTA SOSIAL
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
  1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
  2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini bersifat inter subjektif yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter M.Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
1.    Nilai-nilai umum ( common values )
2.    Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1.      Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
2.      Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsur-unsurnya.
3.      Teori Sistem, dan
4.      Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.


B.            PARADIGMA DEFINISI SOSIAL
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori di atas mempunyai kesamaan ide dasar, yaitu manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini, merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).


C.            PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
  1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
  2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan:
·        Pandangannya tentang emergence
·        Pandangannya tentang psikologi
·        Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.

PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA




Setiap masyarakat yang hidup di dunia pada dasarnya selalu mengalami perubahan. Walaupun perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mencolok, berjalan lambat, dan terbatas tetap saja kenyataan menunjukkan bahwa perubahan selalu terjadi di setiap masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat ditemukan oleh seorang peneliti pada satu waktu dan memperbandingkannya di waktu kemudian. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1995 barang-barang apa yang menjadi standar rumah tangga dan bandingkan dengan tahun ini, apakah terjadi perubahan atau tidak?
Perubahan dalam masyarakat dapat meliputi perubahan material maupun non material. Perubahan secara material misalkan bentuk mobil yang digunakan, pakaian yang dipakai, alat memasak,  kelengkapan kuliah, dan lain-lain. Perubahan secara non material seperti nilai atau norma, perilaku, lapisan, kekuasaan

A.            PERUBAHAN MASYARAKAT
Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang berada dalam keadaan dinamis. Mungkin terlihat dari luar, sekelompok masyarakat sepertinya statis, namun bila ditelaah lebih mendalam, masyarakat yang seolah-olah statis tersebut ternyata berifat dinamis dan senantiasa dapat berubah.
Pendefinisan perubahan sosial sangat banyak dan beragam, serta seringkali terdapat pertentangan dalam definisi-definisi yang muncul. MacIver menyatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan sosial. Unsur material tidak dimasukkan oleh Mac.Iver. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial adalah variasi cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Perubahan dalam masyarakat dapat meliputi perubahan material maupun non material. Perubahan secara material misalkan bentuk mobil yang digunakan, pakaian yang dipakai, alat memasak,  kelengkapan kuliah, dan lain-lain. Perubahan secara non material seperti nilai atau norma, perilaku, lapisan, kekuasaan, atau interaksi sosial. Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu:
  1. Perubahan lambat (evolusi) dan perubahan cepat (revolusi)
  2. Perubahan kecil dan perubahan besar
  3. Perubahan yang dikehendaki/direncanakan dan perubahan yang tidak dikehendaki/tidak direncanakan.
Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam masyarakat dan dari luar masyarakat (faktor internal dan faktor eksternal). Sebab-sebab yang bersumber dari dalam masyarakat:
  1. Bertambah atau berkurangnya penduduk
  2. Penemuan-penemuan baru (discovery dan invention)
  3. Konflik dalam masyarakat
  4. Pemberontakan
Penyebab perubahan dari luar masyarakat meliputi:
  1. Kejadian pada lingkungan fisik (bencana, misalnya)
  2. Peperangan
  3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

B.            URBANISASI – PROSES PENGKOTAAN
Urbanisasi seringkali dikaitkan dengan proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Makna sesungguhnya urbanisasi adalah proses pengkotaan. Secara antropologis, makna dari proses pengkotaan tidak sekedar perpindahan penduduk semata, namun lebih daripada itu, pengelompokkan manusia sangat terkait dengan sistem distribusi dan redistribusi sumber daya. Agar tidak tertukar, maka konsep yang kota yang digunakan adalah urban bukan city atau town.
Perkembangan mata pencaharian manusia meliputi atas masa berburu dan meramu, perladangan berpindah (slash and burn cultivation), sistem pertanian menetap (sedentary cultivation), industrialisasi. Proses pengkotaan terjadi karena sistem pertanian menetap. Sistem ini memungkinkan sumber daya-sumber daya pokok (pangan) yang dibutuhkan oleh manusia tersedia secara melimpah. Pada gilirannya sumber daya yang dibutuhkan tersebut memerlukan saluran-saluran distribusi kepada konsumen dan redistribusi kepada produsen.
Distribusi kepada konsumen secara langsung sangat sulit dilakukan dan karenanya dilokalisir pada suatu tempat tertentu. Produsen secara langsung  atau melalui jasa mediator/broker membawa sumber daya ke tempat tersebut untuk ditukarkan dengan sumber daya lain yang dibutuhkan oleh produsen dan/atau broker. Ketersediaan sumber daya di suatu lokasi inilah yang menarik banyak manusia untuk mencapai lokasi tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber daya. Cara termudah mendapatkan sumber daya adalah beralih dan menetap di lokasi tempat menumpuknya sumber daya sehingga terbentuklah masyarakat yang mendiami area di mana pertukaran sumber daya terjadi atau disebut kota.
Kota menjadi pusat hidup manusia dalam jumlah besar dan kompleks. Jumlah dan kompleksitas tersebut memerlukan adanya pengaturan bagi manusia-manusia yang bermukim di daerah tersebut dalam suatu tata aturan administratif dan dijalankan oleh sekelompok manusia. Aturan dan pelaksanaannya tersebut biasa dikenal dengan birokrasi politik kepemerintahan. Aturang-aturan tersebut disusun dan dijalankan agar penduduk mampu menciptakan suasana tertib sosial baik secara mekanik maupun organik.
Jumlah penduduk yang besar memerlukan sarana-sarana yang mampu memenuhi segenap warganya. Untuk menjauhkan dari rasa jenuh karena proses-proses ekonomis  maka disusunlah saluran pengaman berupa area rekreasi. Kebutuhan-kebutuhan akan spesialisasi keahlian atau keterampilan oleh penduduk disikapi dengan membangun sarana-sarana pendidikan.
Kota dalam hal ini merupakan pusat hidup manusia karena peran-peran yang dimiliki oleh kota itu sendiri. Sebagai pusat ketersediaan sumber daya, maka kota berperan sebagai pusat perekonomian. Sebagai tempat hidup, kota memiliki peran sebagai kawasan permukiman bagi manusia. Adanya tata aturan membuat kota memiliki peran sebagai pusat administrasi, politik dan pemerintahan, rekreasi, dan pendidikan.  
Pada era industri pemahaman urbanisasi secara demografis mengandung arti perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau setidaknya itulah yang digunakan di Indonesia. Mengapa terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota? Hal tersebut dapat diterangkan atas dua faktor, yaitu faktor penekan dan faktor pendorong perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Desa dicirikan sebagai masyarakat kecil, homogen, dan mayoritas penduduknya bermatapencaharian dari pertanian. Pada kenyataannya merupakan bagian dari sistem hubungan, yaitu desa-kota. Desa sebagai penyedia sumber daya memiliki peran sebagai penyangga kehidupan kota. Hubungan antara desa dengan kota saling berkaitan dan terikat dalam suatu sistem distribusi dan redistribusi yang selalu berkesinambungan.
Faktor penekan yang menyebabkan perpindahan penduduk desa ke kota berasal dari dalam lingkungan desa itu sendiri. Laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di desa mengakibatkan banyaknya tenaga kerja yang tidak terserap di sektor pertanian. Keterbatasan-keterbatasan sarana seperti pendidikan, rekreasi, dan politik yang ada di desa berbanding terbalik dengan yang tersedia di kota. Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut maka penduduk desa, terutama yang tidak terserap pada sektor pertanian mengambil keputusan beralih mencari pekerjaan di kota.
Faktor penarik yang menyebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota berasal dari sarana-sarana yang dimiliki lingkungan kota. Sumber daya, industri, pekerjaan-pekerjaan administratif, pendidikan, rekreasi, atau permukiman menjadi penarik penduduk desa untuk beralih mukim ke kota.
 Perpindahan penduduk dari desa ke kota menyebabkan masalah besar. Kota tidak lagi mampu menampung penduduk untuk bermukim di dalamnya. Sarana-sarana yang dimiliki oleh kota pun menjadi terbatas dan tak mampu memenuhi kebutuhan penduduknya. Lapangan pekerjaan yang menjadi faktor penarik utama perpindahan penduduk menjadi terbatas dan mengakibatkan banyak orang yang tidak tertampung di dalamnya. Dari segi permukiman, keterbatasan permukiman yang layak dihuni menyebabkan terjadinya enklave kawasan kumuh dan merusak lingkungan hidup kota. Lebih jauh tata aturan yang ditetapkan menjadi turun kewibawaannya dan tidak mampu mengatur penduduknya menciptakan tertib sosial, hal ini membawa dampak meningkatnya angka kejahatan.

C.            TEORI PERUBAHAN SOSIAL DAN  BUDAYA
Perubahan sosial dan budaya adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga yang bersangkutan, yang antara lain mencakup aturan-aturan, nilai-nilai, teknologi, selera, bahasa, keindahan yang dijadikan pegangan kehidupannya (Suparlan, 1987: 14). Perubahan sosial dan budaya dapat sebabkan  faktor difusi dan evolusi.

C.1. Difusi
Perubahan sosial dan budaya terjadi karena difusi kebudayaan dari suatu masyarakat kepada masyarakat lain.
Suatu perubahan kebudayaan terjadi kalau datangnya unsur baru itu dapat diterima oleh masyarakat yang mengalami perubahan tersebut. Karena diterimanya pemikiran dan sikap baru dikatakan menjadi suatu kebudayaan jika sikap dan pemikiran tersebut kemudian dipraktekkan dalam aktivitas kerja dan dijadikan milik bersama yang digunakan untuk menghadapi lingkungannya. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi dapat atau tidaknya kebudayaan itu, diterima yaitu :
1.      Terbiasanya masyarakat  tersebut melakukan kontak sosial dengan masyarakat lain yang kebudayaannya berbeda.
2.      Tidak bertentangan dengan agama pada masyarakat yang menjadikan nilai agama sebagai nilai dominan dalam kebudayaannya.
3.      Corak struktur tidak otoriter.
4.      Adanya unsur-unsur kebudayaan sebelumnya yang menjadi landasan bagi diterimanya kebudayaan baru itu.
5.      Unsur baru itu mempunyai skala terbatas dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh masyarakat penerima (Suparlan, 1987: 18).
Sumber-sumber yang dapat menyebabkan  terjadinya perubahan berasal dari dalam masyarakat atau dari luar masyarakat itu (Rogers dan Shoemaker, 1984: 17). Salah satu perubahan yang berasal dari luar masyarakat adalah perubahan kontak terarah, yakni suatu perubahan yang sengaja dibawa dan telah ditentukan oleh masyarakat luar tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1984: 19). Dikatakan pula oleh Hoebel dan Frost  bahwa adanya kontak sosial dengan kebudayaan lain yang lebih dominan dari masyarakat tersebut, dapat menimbulkan perubahan terhadap masyarakat  yang didominasi (Hoebel dan Frost, 1976: 48).
Selanjutnya Hoebel dan Frost mengatakan bahwa dalam suatu masyarakat tidak selalu terjadi perubahan sekaligus seluruh nilai-nilai dan pola kebudayaannya tetapi biasanya ada beberapa unsur kebudayaan yang tidak mengalami perubahan (Hoebel dan Frost, 1976: 49). Modifikasi dalam perubahan itu dapat melalui :
1.      Substitusi, yaitu  penggantian unsur lama oleh unsur baru yang secara fungsional dapat diterima oleh unsur lainnya.
2.      Dekulturasi, yaitu kehilangan sebuah atau seperangkat unsur tanpa ada gantinya.
3.      Fusi, yaitu perpaduan antara unsur lama dari kebudayaan tersebut dengan unsur yang sama dari kebudayaan baru tersebut.
4.      Inkrementasi, yaitu penambahan unsur baru yang sudah ada dalam kebudayaan tersebut. (Suparlan, 1985: 14).


C.2. Evolusi
Beberapa macam teori evolusi masyarakat menerangkan bahwa perubahan dalam masyarakat terjadi karena faktor internal. Kemampuan manusia dalam berpikir dan menganalisis suatu situasi menghasilkan penemuan-penemuan yang bersifat fungsional bagi masyarakat dan mengubah struktur masyarakat tersebut. Teori evolusi dapat digolongkan pada kategori berikut:
a.    Evolusi linear, menyatakan bahwa masyarakat manusia mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu. Bermula dari bentuk yang sederhana kemudian menjadi kompleks.
b.    Evolusi universal, perkembangan masyarakat tidak melalui tahap-tahap tertentu yang tetap melainkan mengikuti garis-garis evolusi tertentu.
c.    Evolusi multilinear, perkembangan masyarakat ditekankan pada tahap-tahap perkembangan tertentu yang saling berkaitan atau berkesinambungan.

KEPENDUDUKAN DAN KEHIDUPAN KELUARGA



A.            KEPENDUDUKAN
Secara harfiah kependudukan berarti jumlah penduduk yang hidup dalam suatu wilayah. Hal ini mengandung makna bahwa kependudukan dapat mengacu pada jumlah penduduk di berbagai ukuran wilayah, baik wilayah kecil maupun besar. Kependudukan juga dapat mengandung arti merujuk pada sekelompok masyarakat dengan karakteristik tertentu, misalnya orang Jakarta, orang Bandung, Inggris dan lain-lain. Untuk itu, pengertian kependudukan memiliki wakna kuantitatif dan kualitatif.
Konsep kependudukan tidak terlepas dari ukuran dan struktur masyarakat dengan berbagai macam realita sosial di dalamnya. Dalam ilmu sosial, kependudukan sangat penting untuk dikaji karena obyek ilmu pengetahuannya adalah manusia atau masyarakat karenanya konsep kependudukan sangat terkait dengan “permasalahan-permasalahan susulan” atasnya. Semisal permasalahan kesehatan, kesejahteraan, atau bahkan kejahatan. Lantas bagaimana terjadi perubahan ukuran penduduk? Banyak faktor yang melatarinya seperti kemajuan teknologi, geografi, atau medis yang masing-masing terkait namun membutuhkan penjelasan-penjelasan tersendiri.
Perkembangan jumlah penduduk dalam suatu daerah dapat dikaji melalui beberapa bagian, yaitu jumlah dan komposisi. Pada gilirannya, bagian-bagian tersebut memiliki permasalahan yang kompleks bagi suatu masyarakat sehingga diperlukan penanggulangan atas masalah penduduk.

A.1.  Jumlah Penduduk
Patokan baku yang dijadikan ukuran jumlah penduduk seperti telah diterangkan di atas mencakup berbagi ukuran wilayah. Wilayah yang terbesar adalah dunia. Diperkirakan jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 6 miliar orang dan juga diperkirakan akan terus bertambah setiap waktu. China dan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar pertama dan kedua. Satu pertiga penduduk dunia bertempat di China dan India. Negara-negara lainnya seperti Russia, Amerika Serikat, Indonesia, dan Kanada merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Negara-negara dunia ketiga pada umumnya adalah negara yang memiliki masalah jumlah penduduk yang besar.
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah terkait erat dengan kelahiran dan kematian. Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka kematiannya memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sebaliknya bila angka kelahiran lebih kecil daripada angka kematian, maka laju pertumbuhan penduduk dapat dikatakan rendah. Wilayah dengan angka kelahiran sama dengan angka kematian dikatakan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang stabil/konstan; contoh dari wilayah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang konstan adalah Skandinavia (Norwegia, Swedia, dan Finlandia). Indonesia adalah contoh wilayah yang penduduknya memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka kematian penduduk. Beri contoh negara yang memiliki angka kelahiran lebih kecil daripada angka kematian!
Jumlah penduduk dipengaruhi pula oleh kesempatan hidup. Kesempatan hidup yang lebih panjang membuat jumlah kematian lebih kecil daripada jumlah penduduk yang hidup. Dalam catatan sejarah, kesempatan hidup manusia dari masa ke masa mengalami peningkatan, artinya hidup seorang manusia kini relatif lebih lama dibandingkan masa terdahulu. Hal ini berkaitan dengan penemuan-penemuan dan peningkatan keterampilan medis, meningkatnya kemakmuran, dan langkanya peperangan dalam skala besar (angka kematian penduduk dunia relatif besar pada masa Perang Dunia I dan II). Kesempatan hidup penduduk Indonesia tahun 1930 rata-rata mencapai 30 tahun. Tahun 1960 kesempatan hidup tersebut naik menjadi 47,5 tahun dan kembali meningkat menjadi 54 tahun pada tahun 1980. Kini kesempatan hidup penduduk Indonesia mencapai 64 tahun.
Ledakan penduduk terjadi pada pasca Perang Dunia II. Meski perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia yaitu Blok Barat dan Blok Timur terjadi, dan beberapa peperangan melanda Asia, namun suasana tersebut relatif damai sehingga angka kematian dapat ditekan secara signifikan. Pada tahun 1950-1960 jumlah penduduk dunia meningkat secara tajam dan memberi istilah baby boomer pada masa tersebut. Di beberapa wilayah seperti Asia Tenggara dan Afrika terjadi revolusi dan peperangan namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran manusia di dunia.
Di Indonesia pada tahun 1950-1960 an, tak terkecuali, terjadi lonjakan penduduk khususnya di Pulau Jawa. Di tengah ketidakpastian situasi politik dan beberapa pemberontakan, laju pertumbuhan penduduk terjadi secara cepat. Meski perkembangan teknologi kesehatan, kesempatan hidup, dan kesejahteraan berjalan dengan lambat namun faktor penyebab ledakan penduduk dikarenakan adanya orientasi nilai budaya. Saat itu negara membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak karena ketersediaan lapangan kerja yang luas, meliputi pekerjaan formal dan pertanian. Budaya yang dimaksud adalah pemahaman ‘banyak anak banyak rejeki’.

A.2. Komposisi Penduduk
Faktor utama dalam kependudukan adalah komposisi penduduk. Suatu negara atau suatu wilayah dalam perkembangannya sangat bergantung pada komposisi penduduk yang dimilikinya. Komposisi ini berkaitan dengan nilai atau pandangan mengenai pertumbuhan khususnya sektor ekonomi. Budaya juga turut memberi nuansa pada permasalahan komposisi penduduk. Komposisi yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi usia dan jenis kelamin yang dianggap menentukan dalam konteks ekonomi-pembangunan.
Usia dalam arti bio-ekonomis menunjukkan tahap perkembangan kemampuan energi manusia untuk berproduksi. Karenanya usia dalam komposisi penduduk diberi nilai usia produktif dan usia non-produktif. Pada tataran tertentu penduduk dapat terbagai atas kelompok-kelompok usia, yakni anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Tidak ada batasan dalam kebudayaan mengenai usia produktif dan non produktif karena seringkali batasan-batasan ekonomis atas usia seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebagai ilustrasi, seorang anak berusia 9 tahun ternyata telah bekerja dan secara ekonomis terlibat dalam sistem-sistem produksi; atau seorang nenek berusia lebih dari 80 tahun juga masih terlibat dalam usaha warungnya, dengan kata lain, nenek tersebut masih menjalankan perilaku ekonomis meski keadaan biologisnya dikatakan nonproduktif.
Umumnya usia produktif berkisar antara 15-55 tahun dan usia nonproduktif berada di bawah dan di atasnya. Kaum bio-ekonomi percaya bahwa pada masa-masa usia demikian adalah kemampuan manusia secara optimal untuk mengeluarkan energi dalam produksi, atau dengan bahasa singkatnya “bekerja”. Pandangan ini merumuskan bahwa dalam sekelompok masyarakat atau negara perlu membandingkan jumlah usia produktif dan usia nonproduktif penduduk. Bila jumlah usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif maka secara ekonomis penduduk wlayah tersebut terjamin kesejahteraannya. Sebaliknya jika jumlah penduduk berusia produktif lebih kecil daripada penduduk usia nonproduktif, maka secara ekonomis, kesejahteraan masyarakat tersebut bersifat negatif.
Penduduk berusia produktif diasumsikan memasuki lapangan pekerjaan sebagai tenaga pencari nafkah. Penduduk usia produktif juga diandaikan menanggung hidup penduduk lain yang berusia nonproduktif. Artinya seseorang yang berusia produktif menanggung hidup dirinya secara individual dan juga menanggung hidup orang-orang lain yang nonproduktif. Perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dan non produktif menjadi bermakna bila dikaitkan dengan tanggungan hidup di atas. Sebagai contoh:
dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari 1000 orang, terdapat jumlah penduduk berusia produktif sebanyak 500 orang yang diasumsikan semuanya masuk ke dalam lapangan kerja. 500 orang lainnya berusia non-produktif terdiri dari anak-anak dan lanjut usia. Perbandingan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia non produktif sebesar 1:1. Dari angka-angka di atas dapat ditarik pengandaian bahwa setiap satu orang menanggung dirinya sendiri dan satu orang lainnya yang berusia nonproduktif.

Dari contoh di atas maka dapat ditarik suatu pernyataan ideal, yakni jika angka usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif maka tanggungan hidup orang lain yang harus ditanggung lebih kecil, artinya tingkat kemakmuran lebih tinggi jika jumlah usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif. Sebaliknya jika usia produktif lebih kecil daripada usia nonproduktif, tanggungan hidup menjadi lebih besar, artinya tingkat kemakmurannya rendah. Dapatkah Saudara menganalogikannya dalam suatu keluarga?
Selain usia produktif, jenis kelamin juga menjadi unsur penting bagi komposisi penduduk. Secara ekonomis, laki-laki adalah bagian penduduk yang umumnya berperan sebagai pencari nafkah. Semakin banyak jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki diasumsikan secara ekonomis memberikan keuntungan bagi masyarakat karena lebih banyak pencari nafkah dibandingkan dengan yang harus dinafkahi. Laki-laki dipandang kelak memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarganya dan menanggung hidup orang-orang di lingkungannya (keluarga).
Dari sisi budaya tentu saja hal tersebut tidak bersifat mutlak. Pandangan ekonomis yang konservatif memandang bahwa laki-laki sebagai unit pelaksana produksi bersifat tunggal dan mengabaikan perempuan dalam produksi. Pemahaman bahwa laki-laki “beroperasi” di ranah  publik (bekerja di luar rumah) dan perempuan “beroperasi” di ranah domestik (di dalam rumah/keluarga) yang kental menjadi penyebab utama pengabaian terhadap perempuan. Dihadapkan pada kenyataan sekarang, di era industri atau post-industri, kaum perempuan dapat juga bertindak mencari nafkah selain kaum laki-laki.

A.3. Masalah-masalah Kependudukan
Pertumbuhan penduduk bagaimanapun juga telah memberi berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Pertumbuhan penduduk dalam sejarah modern bersamaan dengan modernisasi mendorong terjadinya hal-hal berikut:
a.       Berkurangnya lahan pertanian sebagai penopang kebutuhan pangan
b.      Sulitnya mendapat kebutuhan bermukim
c.       Distribusi penduduk yang timpang
d.      Rasio lapangan kerja dengan tenaga kerja yang tidak memadai
e.       Pengangguran; dan
f.        Meningkatnya angka kriminalitas
Hal-hal di atas tersebut mungkin telah kita ketahui baik secara langsung maupun melalui media. Lahan pertanian yang semakin berkurang karena beralih fungsi sebagai permukiman, distribusi penduduk yang tidak merata (berkaitan dengan konsentrasi penduduk di Pulau Jawa), sulitnya mendapatkan lapangan kerja sehingga menimbulkan persaingan yang semakin ketat dan mereka yang gagal bersaing gagal untuk masuk lapangan kerja atau tidak memiliki pekerjaan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat namun tidak terjangkau karena tidak memiliki pekerjaan mendorong terjadinya tindakan kriminal yang “terpaksa” dilakukan oleh seseorang.
Masalah kependudukan tersebut perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius. Pada masa orde baru, untuk mengatasi ledakan penduduk, secara serius dijalankan program Keluarga Berencana (KB) dengan semboyan “dua anak cukup”. Program transmigrasi pun dilaksanakan untuk menanggulangi ketimpangan distribusi penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa.  Bagaimana dengan yang terjadi di masa ini?


B.            INDUSTRIALISASI DAN KEHIDUPAN KELUARGA
Era industri dapat dianggap sebagai masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perubahan-perubahan terjadi pada struktur masyarakat secara radikal dan lebih daripada itu, industri pun mengubah wajah dunia dengan cepat. Perubahan yang terjadi pada struktur masyarakat tak terkecuali menyentuh pula pada ranah keluarga. Dalam format bakunya, keluarga mungkin tidak mengalami perubahan, komposisinya tetap, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak. Namun dalam peran-perannyalah terjadi perubahan.
Pada masyarakat pra industri, anak-anak berperan sebagai investasi tenaga kerja di kemudian hari yang akan bekerja bagi keluarganya, misalnya untuk bekerja di sawah atau ladang. Artinya anak secara langsung memiliki nilai ekonomi yang melekat pada dirinya sendiri dari sudut pandang orang tuanya. Hal ini berbeda dengan masyarakat industri. Pengalokasian kebutuhan sumber daya lebih bersifat atomis daripada kolektif. Alokasi kebutuhan berpusat pada keluarga inti saja dengan pusat peranannya berada pada orang tua. Anak-anak, meskipun merupakan investasi,  nilai ekonomisnya tidak lagi bersifat langsung, melainkan investasi bagi diri si anak tersebut kelak.
Ikatan emosional keluarga secara relatif menurun akibat industrialisasi. Acuan baku dalam bekerja telah menyebabkan interaksi antar anggota keluarga berkurang karena besarnya waktu yang dihabiskan di luar rumah. Anak-anak atau kaum muda menjadi “korban” dari berkurangnya intensitas dan acuan baku pekerjaan. Di saat lalu, pada waktu ayah bekerja  bekerja, anak-anak berada dalam pengawasan ibu, namun di era industri ini, baik ayah dan ibu dapat secara bersamaan memasuki lapangan kerja. Katup pekerjaan bagi perempuan kini terbuka banyak dan membuat perempuanpun dapat bekerja di sektor publik. Anak-anak berada di bawah pengawasan orang lain, sekolah misalnya.
Industrialisasi dan faktor-faktor hubungan sosial-psikologi pada masyarakat industri modern menyebabkan terbentuknya fenomena kaum muda untuk beberapa argumen berikut :
1.   Ketajaman division of labour (pembagian kerja) memisahkan keluarga dari proses-proses produksi modern dan administrasi. Dengan revolusi di bidang industri, timbul sebuah struktur institusi yang menyediakan “ruangan” bagi kaum muda.
2.   Dengan pembagian tenaga kerja, muncul sebuah peningkatan spesialisasi yang membawa individu memerlukan pendidikan. Kaum muda terpisah dari proses-proses industri oleh hukum ketenagakerjaan anak-anak.
3.   Peningkatan mutu obat-obatan modern dan nutrisi menuntun pada meningkatnya jumlah kaum muda.
4.   Peningkatan kompleksitas masyarakat modern berarti bahwa perbedaan individu-individu menuntun pada kehidupan yang sangat berlainan satu sama lain. Hal ini menyebabkan kaum muda menjadi mandiri dan berkuasa penuh membentuk norma-norma dan pola-pola perilaku yang terbebas dari orang dewasa.
5.   Sosialisasi dalam masyarakat modern terkarakterisasi oleh tingginya derajat ketidak berlanjutan dan ketidaktetapan. Hal tersebut menghasilkan individu yang tidak secara baik terintegrasi dan suatu periode waktu dibutuhkan  mereka untuk mampu menyempurnakan proses sosialisasi – suatu periode untuk menemukan jati dirinya, termasuk kenakalan dan kejahatan (Tittley, 1999).
Menurut Marx (1968), kaum muda seringkali tersisihkan dari masyarakat luas karena mereka menempati posisi marjinal atau teralienasi dalam konteks kapital. Epstein (1998) melihat bahwa kaum muda saat ini tengah teralienisasi dari kegiatan produksi. Epstein (1998) kemudian melanjutkan bahwa ada dua sisi yang mengkategorisasikan alienisasi tersebut, yaitu :
a.    pandangan struktural, dikarenakan oleh suatu masyarakat telah tersusun berdasarkan posisi struktur golongan yang dapat terlihat dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, kaum muda secara progresif dijauhkan dari beberapa aspek yang penting atas keberadaan sosial mereka oleh masyarakat dan organisasi ekonomi dalam masyarakat tersebut. Sekolah  dan bekerja telah menjadi acuan baku yang menambah ketidakberartian dan ketidakberdayaan kaum muda karena hanya sedikit meminta kemampuan intelektual dan kreativitas dalam mengembangkan dirinya.
b.    Pandangan  psikologis, dikarenakan perasaan  tak terpengaruh yang dirasa oleh individu dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan adanya perasaan manusia atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. 
Pandangan lain  dari Lury (1998), bahwa ekspresi generasi muda muncul menanggapi kondisi-kondisi perubahan ekonomi yang menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional, seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler “masyarakat industrial-makmur” menjadi semakin tajam.

PELAPISAN DAN KELAS SOSIAL




A.1. PELAPISAN SOSIAL
Setiap masyarakat memiliki suatu rasa penghargaan terhadap hal-hal tertentu yang dipandang memiliki nilai lebih daripada yang lainnya. Hal ini menyebabkan suatu posisi khusus memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada posisi lainnya menyangkut pula pada individu atau kelompok yang menempati posisi tersebut. Misalnya bila ukuran kekayaan dipandang bernilai, maka semakin banyak harta mendudukkan seseorang menempati posisi yang lebih tinggi daripada seseorang lainnya yang hanya memiliki sedikit harta. Gejala ini menimbulkan suatu karakteristik lapisan yang berbeda secara vertikal atau hirarkis. Sistem lapisan dalam masyarakat diistilahkan sebagai stratifikasi sosial (social stratification).
Sorokin (1959) menyatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Lapisan masyarakat tetap ada dalam setiap masyarakat, baik dalam masyarakat sederhana, tradisional, feodal, kapitalistis, demokratis, dan bahkan komunis. Bentuk pelapisan sosial yang paling sederhana adalah adanya pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin dianggap memiliki posisi paling atas secara vertikal; dan menempatkan sekelompok manusia yang dipimpin menempati lapisan bawah, hal ini terdapat pada masyarakat sederhana dan sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar. Semakin rumit dan semakin kompleks suatu masyarakat maka sistem lapisan masyarakatnya pun semakin rumit.
Lapisan dalam masyarakat saling kait berkait dalam suatu bentuk lapisan. Golongan kaya, menengah, dan miskin misalnya, antar satu lapisan dengan lapisan lain, meski tidak nampak, saling berkaitan dengan erat dan juga dapat saling mempengaruhi. Munculnya pandangan kaya, menengah, dan miskin karena terdapatnya perbandingan yang nyata antar mereka.
Sistem pelapisan sosial secara prinsipil dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu ekonomis, politis, dan posisi. Ketiga bentuk pokok tersebut mempunyai hubungan erat satu dengan yang lainnya. Seseorang yang memiliki jabatan-jabatan tinggi tertentu secara politis memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan orang lain yang tidak memiliki jabatan tersebut, dan biasanya jabatan dengan kuasa politis menempatkan seseorang secara ekonomis lebih tinggi daripada yang lainnya. Bandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat kita, adakah seseorang yang memiliki jabatan dan kuasa politis yang tinggi memiliki kekayaan yang rendah?
Terjadinya stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan sendirinya dan dapat juga sengaja diciptakan. Stratifikasi sosial yang tumbuh dengan sendirinya biasa didasarkan pada kemampuan seseorang dalam suatu bidang sehingga ia dianggap lebih mumpuni daripada orang lain. Hal tersebut ditandai oleh suatu pengakuan kolektif masyarakat terhadap kemampuan seseorang. Stratifikasi yang diciptakan dengan sengaja sangat erat kaitannya dengan kepentingan politis. Suatu kelompok menciptakan legitimasi bagi kelompok dan/atau individu untuk berperingkat lebih tinggi daripada kelompok atau individu lain. Ini terutama sangat berkaitan dengan penguasaan sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia. Pihak yang menciptakan lapisan memiliki tujuan memproteksi kepentingan-kepentingannya agar tidak “diganggu” kelompok lain.
Sifat lapisan sosial terbagi atas dua, yaitu bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification). Pembedaan yang paling penting antar keduanya adalah proses kemungkinan perpindahan dari satu lapisan menuju lapisan lainnya, baik bergerak ke atas maupun ke bawah. Artinya sifat lapisan sosial sangat ditentukan oleh karakteristik sistem sebagai pembatas atau pemungkin perpindahan lapisan.
Lapisan sosial yang bersifat tertutup membatasi kemungkinan perpindahan seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Di dalam sistem yang bersifat seperti ini, kelahiran (keturunan) menjadi satu-satunya jalan untuk menempati lapisan tertentu. Sistem tertutup sangat jelas terlihat pada sistem kasta yang terdapat pada masyarakat tradisional India. Pada masa penjajahan di Indonesia, seseorang yang terlahir sebagai pribumi menempati lapisan paling bawah dari sistem masyarakat Indonesia . Di tempat-tempat lain, seseorang yang terlahir sebagai bangsawan secara otomatis menempati lapisan bangsawan dan tetap dihormati meski secara nyata ia tidak berbeda dengan anggota masyarakat lain.
Lapisan sosial yang bersifat terbuka membuka kemungkinan perpindahan seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain. Setiap individu anggota masyarakat atau secara berkelompok memiliki kesempatan untuk naik ke lapisan atas atau sebaliknya, turun ke lapisan bawah. Hal ini ditentukan oleh usaha dan kecakapan yang dimiliki oleh tiap individu atau kelompok. Umumnya dalam sistem pelapisan terbuka, kesempatan untuk menaiki lapisan ke arah atas dijadikan alasan atau landasan pembangunan masyarakat secara luas. Sangat mungkin seorang individu yang berasal dari warga miskin, karena kesempatan dan pemanfaatan kesempatan tersebut dengan usaha dan kecakapan, pada suatu waktu menjadikannya menempati lapisan orang-orang kaya. Jika hal tersebut terjadi dalam jumlah yang besar maka fenomena tersebut dapat dijadikan indikator keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan di bidang ekonomi. Berikan contoh fenomena tersebut berdasarkan yang Saudara ketahui!
Unsur-unsur pembentuk lapisan masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan dan peranan memiliki arti penting bagi sistem sosial. Melalui kedudukan dan peranan individulah suatu masyarakat dapat langgeng kehidupannya untuk menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan individu yang dimaksud.
Kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Dengan demikian, seseorang dapat menempati beberapa kedudukan karena ia semasa hidup seringkali terikat oleh “beberapa dunia” pola kehidupan. Pengertian kedudukan menunjukkan tempatnya dalam berhubungan dengan orang-orang lain dalam sebuah masyarakat. Apabila dipisahkan dari individu yang menyandang suatu kedudukan, maka kedudukan merupakan kumpulan dari hak-hak dan kewajiban. Namun karena hak-hak dan kewajiban hanya dapat terlaksana melalui perantaraan individu, agak sukar untuk memisahkannya secara tegas dan kaku.
Masyarakat pada umumnya mengembangkan tiga macam kedudukan, yaitu:
a. Ascribed status, yaitu kedudukan yang diperoleh tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan ini diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan seorang bayi bangsawan adalah bangsawan pula. Sekilas nampak seperti yang terdapat pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup namun pada masyarakat bersistem pelapisan terbuka, ascribed status sangat mungkin dijumpai. Misalkan kedudukan laki-laki berbeda dengan kedudukan perempuan baik dalam ranah domestik keluarga maupun dalam pekerjaan (ranah publik). Dalam ranah domestik, laki-laki dipandang lebih bernilai karena menjadi tulang punggung atau pencari nafkah bagi keluarganya. Pada ranah publik, terutama perusahaan swasta, seringkali ditemui sistem penggajian dengan besaran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan; biasanya laki-laki mendapatkan gaji lebih besar daripada perempuan dengan alasan serupa dengan yang dikemukakan di atas.
b. Achieved status, yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang dengan sengaja, tergantung pada kemampuan dan kecakapan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Seseorang dapat menjadi seorang presiden asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Apabila persyaratan-persyaratan yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi sangat tidak mungkin seseorang itu menjadi presiden. Demikian pula halnya dengan posisi-posisi atau profesi lain.
c. Assigned status, kedudukan yang diberikan oleh kelompok atau golongan kepada seseorang yang dianggap berjasa memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Gelaran pahlawan kepada mereka yang gugur di medan pertempuran adalah salah satu contoh assigned status.
Peranan merupakan bentuk dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang mampu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia diangaap dapat menjalankan peranan. Peranan merujuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan juga suatu proses. Terdapat tiga hal yang dicakup oleh peranan, yakni:
a. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam hal ini menyiratkan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b. Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Perilaku yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Seseorang yang menduduki suatu kedudukan seringkali tidak mampu menjalankan peranannya, baik karena kapasitas diri maupun bentukan dari masyarakat. Di Indonesia ini, kedudukan lebih penting daripada menjalan peranan atas kedudukan tersebut. Sering terjadi suatu kedudukan diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi atas kedudukan tersebu, maka peranannya pun tidak berjalan dengan baik. Hal ini seringkali dikaitkan karena kuatnya perilaku kolusi dan nepotisme yang berkembang di masyarakat Indonesia.


A.2. KELAS SOSIAL
Konsep kelas sosial sangat berkaitan dengan sistem pelapisan masyarakat. Kelas sosial merupakan suatu pembedaan individu atau kelompok berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Kelas sosial adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di dalam suatu lapisan, sedang kedudukan mereka itu diketahui serta diakui oleh masyarakat umum. Istilah kelas sosial bagi sekelompok orang sangat tekait pada Karl Marx. Marx tidak pernah menyebut definisi dari kelas sosial, melainkan melihat kelas sosial yang tercipta karena determinisme ekonomi; kelas borjuis dan kelas proletar. Beberapa pengertian kelas sosial misalnya Meyer berpendapat bahwa istilah kelas hanya dipergunakan untuk lapisan yang bersandarkan atas unsur-unsur ekonomis. Weber mengadakan pembedaan antara dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, akan tetapi dia tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi dalam kelas yang bersandarkan atas pemilikan tanah dan benda-benda, serta kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Di samping itu, Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakannya stand. Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya.
. Untuk mendalami kelas sosial ini Soerjono Soekanto memberikan 6 kriteria tradisional, yaitu:
1. Besar jumlah anggota.
2. Kebudayaan yang sama yang menentukan hak dan kewajiban warga.
3. Kelanggengan
4. Lambang yang merupakan ciri khas.
5. Batas-batas yang tegas antar suatu kelompok dengan kelompok lain
6. Antagonisme tertentu terhadap kelompok lain.
Menurut Horton and Hunt keberadaan kelas sosial dalam masyarakat berpengaruh terhadap beberapa hal, diantaranya adalah identifikasi diri dan kesadaran kelas sosial, pola-pola keluarga, dan munculnya simbol status dalam masyarakat. Kecuali itu, kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempengaruhi gaya hidup dan tingkah laku masing-masing warganya.


B. MOBILITAS SOSIAL
Mobilitas sosial memiliki pengertian berupa gerak dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi atau kelompok sosial. Secara teknis mobilitas sosial merupakan perubahan status individu atau kelompok dalam stratifikasi sosial. Tipe gerak dari mobilitas sosial dapat terbagi atas mobilitas horizontal dan vertikal.
Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok sosial menuju kelompok sosial lainnya yang sederajat. Contoh mobilitas horizontal misalkan berpindah tempat tinggal, berganti pekerjaan namun tetap sederajat. Dengan demikian pada mobilitas sosial horizontal tidak terejadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang. Mobilitas vertikal merupakan peralihan individu dari suatu kedudukan ke kedudukan lain yang tidak sederajat. Bisa berarti ke atas (social climbing) dan bisa ke bawah (social sinking).
Mobilitas sosial sangat berkaitan dengan pula dengan sistem pelapisan masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki sistem pelapisan tertutup, dengan kelahiran sebagai penentunya, seperti apapun seseorang memiliki kemampuan, kedudukannya tetap tidak berubah karena struktur sosialnya tidak mengizinkan sama sekali untuk berpindah. Pada sistem lapisam terbuka, kedudukan apapu yang hendak dicapai oleh seseorang sangat terbuka, bergantung pada kemampuan dan usaha seseorang, artinya struktur sosialnya mengizinkan terjadinya gerak sosial.


C. DIVERSITAS SOSIAL
Diversitas sosial merujuk pada beragamnya identitas, pengalaman, dan kesempatan yang termanifestasikan dalam individu atau kelompok yang berlainan. Kata kunci dari diversitas sosial adalah keanekaragaman. Manusia secara individual tidak akan identik sama sekali dengan yang lainnya; manusia hingga tataran paling kecil pasti selalu berbeda dengan manusia lain, demikian pula dengan kelompok.
Dimensi diversitas sosial meliputi umur, jenis kelamin, etnis, kemampuan fisik, ras, orientasi seksual, kesejahteraan, latar pendidikan, politik, status perkawinan, agama atau kepercayaan, dan pekerjaan. Saudara mungkin menyadari bahwa diversitas tersebut dapat ditemukan di lingkungan Saudara berdasarkan dimensi-dimensi yang disebutkan di atas.



TATANAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN SOSIAL

Seperti yang diterangkan pada pembahasan sebelumnya, setiap masyarakat dipastikan memiliki lembaga kemasyarakatan. Lembaga kemasyarakatan yang ada dalam masyarakat sangat mungkin berbeda satu sama lain tergantung pada kebudayaan yang disandang oleh suatu masyarakat. Pada dasarnya lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi-fungsi berikut, yakni:
1.      Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
2.      Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
3.      Memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Dalam pembentukannya lembaga kemasyarakatan berarti pula seperangkat norma dalam masyarakat yang dijadikan acuan bagi anggotanya. Dalam pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma tersebut mengalami beberapa proses:
1.      Pelembagaan atau institutionalization, proses yang dilewati suatu norma menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan hingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Melembaga atau internalized, norma-norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai tahap dikenal, diakui, dan ditaati. Lebih jauh, norma-norma tersebut menjadi pandangan hidup atau mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Masyarakat yang tersusun atas individu berupaya menyusun suatu tata kehidupan yang bersifat tertib menyeluruh. Perlu diperhatikan bahwa daya adaptasi tiap individu dan juga cara pandang individu terhadap tata tertib kehidupan tersebut sangat beragam. Ada yang sepakat dan turut dalam tata tertib yang menjadi standar dan adapula yang tidak menyepakati standar tersebut, bahkan menyimpang dari acuan standar dalam masyarakat.


A.            PENYIMPANGAN/DEVIANCE
Penyimpangan atau deviance ditujukan pada perilaku manusia yang menyimpang terhadap norma-norma dan nilai-nilai standar masyarakat. Deviasi pada masyarakat sederhana yang relatif statis tidak akan disukai oleh sebagian besar golongan masyarakat tersebut (Soekanto 2003:216). Pada prinsipnya deviasi terhadap kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat diperlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri dari para pelaku deviasi.
Tindakan deviasi dalam banyak hal tidak selalu bertentangan dengan kaidah hukum dalam masyarakat. Sebagai contoh apakah orang berbaju terbalik atau berjalan mundur merupakan sebuah bentuk tindakan melawan hukum? Hal tersebut dinyatakan sebagai sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh orang banyak. Dalam banyak kasus suatu fenomena devian yang dipandang tak lazim atau tak disukai oleh masyarakat lambat laun dirasakan manfaatnya dan akhirnya malah tindakan yang asalnya menyimpang tadi diterima pula oleh masyarakat secara luas, terutama sejauh tidak melanggar aturan hukum.
Sebagai contoh kasus tersebut di atas adalah fenomena waria. Waria pada masa lalu merupakan tindakan yang dianggap menyimpang dari kaidah-kaidah normatif masyarakat, melalui nilai humor yang dikemas dalam bentuk waria terutama oleh media, waria bahkan menjadi daya tarik utama bagi masyarakat dan masyarakatpun menerima keberadaan waria. Meski telah diterima, maraknya fenomena waria membuat dikeluarkannya kebijakan untuk menghentikan tayangan-tayangan waria. Bolehlah kita untuk menduga adanya maksud tersembunyi (hidden agenda) dari suatu kelompok yang menginginkan liberasi kaum waria.
Contoh deviasi yang monumental adalah fenomena punk (Hebdige, 1979). Punk dianggap devian oleh sebagian besar warga Inggris pada mulanya, meski tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum formal (Hawthorn, 1981). Golongan punk yang didominasi oleh kaum pekerja Inggris memunculkan simbol-simbol yang tak lazim secara konsensus masyarakat. Potongan rambut mohawk,  peniti, sepatu lars, atau kalung gembok memiliki arti-arti tersendiri yang dipahami oleh golongan punk, serta musik “tiga chord”, dan kritik dalam lirik-lirik musiknya nyaris tidak ada dalam kamus kehidupan masyarakat (terutama masyarakat kapitalis). Punk itu sendiri secara ideologis menentang bentuk-bentuk kapitalisme eksploitatif yang dikembangkan negara-negara di Eropa dan Amerika. Masyarakat Inggris saat itu tidak menerima sama sekali jenis gaya hidup tersebut namun sebaliknya gaya hidup punk  justeru diadopsi dan berkembang secara masif dalam bentuk pop bercorak ala punk yang jauh dari ideologi punk itu sendiri, melainkan berdandan seperti punk dan masuk dalam pusaran industri musik dunia kapitalisme (mengalami komodifikasi).
Kajian mengenai deviasi telah banyak dikembangkan oleh ahli ilmu sosial atau sosiologi pada khususnya (Soekanto, 2003:216). Robert K. Merton dalam karyanya Social Theory and Social Structure (1967) melihat terjadinya deviasi dari sudut struktur sosial dan budaya. Menurut Merton di antara segenap unsur sosial dan budaya dari setiap masyarakat, terdapat dua unsur terpenting, yakni:
1.      Kerangka aspirasi; dan
2.      Unsur/saluran yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi.
Menurut Merton, dalam setiap nilai sosial-budaya terdapat konsepsi mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Diperlukan kaidah-kaidah untuk mengatur kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus kaidah tersebut menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam masyarakat. Bila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran aspirasi akan menyebabkan terbentuknya perilaku menyimpang (deviant behavior). Artinya perilaku menyimpang terjadi bila manusia atau individu lebih mementingkan  suatu nilai sosial-budaya daripada kaidah-kaidah untuk mengatur hidupnya.
Argumentasi Merton tersebut menunjukkan terjadinya gejala memudarnya kaidah-kaidah dalam masyarakat. Masyarakat pada gilirannya tidak lagi berpegang pada kaidah-kaidah  untuk mengatur diri dan tertib sosialnya dan menimbulkan keadaan yang tidak stabil. Keadaan masyarakat yang tidak stabil atau tanpa kaidah dinyatakan sebagai anomie. Secara langsung pendapat Merton merujuk pada pengertian, deviasi terjadi sebagai respon terhadap anomie.

B.            CONFORMITY
Conformity  memiliki pengertian proses penyesuaian diri dengan masyarakat. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara mengindahkan atau mentaati kaidah dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan di atas, kaidah diperlukan sebagai pengatur hubungan antar seseorang dengan orang lainnya, atau seseorang dengan masyarakatnya.
Masyarakat yang homogen dan tradisional biasanya memiliki sifat conformity yang relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang heterogen. Tradisi yang dipelihara dan dipertahankan dengan kuat menyebabkan warga masyarakat yang homogen atau tradisional tidak memiliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri terhadap kaidan dan nilai yang berlaku. Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, masyarakat tradisional akan cenderung seragam dan tidak melakukan pemilihan gaya berpakaian yang tidak umum dengan orang sekitarnya. Bila terdapat individu yang agak berbeda dari segi penampilan pakaiannya, ia akan mendapatkan celaan dari anggota masyarakat yang lain karena dianggap tidak biasa atau melanggar kaidah dan nilai masyarakat. Bandingkan dengan apa yang terjadi dalam  latar lingkungan perkotaan!
Dalam masyarakat tradisional dengan tradisi sangat kuat, kaidah-kaidah yang berlaku secara turun temurun telah mengakar dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak mengalami perubahan. Standar yang digunakan adalah standar warisan nenek moyang atau generasi terdahulu. Apalagi bila masyarakat tradisional tersebut sangat minim intensitas bersentuhannya dengan  dunia luar. Tindakan-tindakan yang menyimpang dari tradisi juga minim. Hal ini menunjukkan bila suatu masyarakat terbuka terhadap dunia luar atau memungkinkan terjadinya pertemuan kebudayaan-kebudayaan, potensi terjadinya deviasi cukup besar karena memungkinkan orang untuk memilih suatu nilai kebudayaan yang ia terapkan pada kehidupannya sehari-hari. Fenomena ini biasa terjadi pada masyarakat-masyarakat perkotaan atau masyarakat industri.
Masyarakat di kota-kota besar pada umumnya terdiri dari individu yang berlainan keadaannya. Para anggota masyarakat perkotaan senantiasa berupaya menyesuaikan diri dengan berbagai macam dan bentuk perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Kota pun dianggap sebagai gerbang masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang didukung piranti mutakhir dalam bidang informasi dan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, ataupun internet. Hal ini memungkinkan masyarakat perkotaan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di luar lingkungannya. Sebagai contoh gaya berpakaian atau pola makan Saudara pun sangat mungkin dipengaruhi oleh suasana budaya yang berasal dari luar daerah Anda, yang berbeda dengan kaidah-kaidah umum setempat. Maka dengan demikian, conformity di kota-kota besar sangat kecil.
Conformity pada masyarakat kota besar, pada tataran tertentu, dianggap sebagai hambatan kemajuan dan perkembangan bagi individu. Sifat dasar dari conformity menghasilkan kepatuhan dan ketaatan penuh seringkali dikritisir sebagai pembatas potensi-potensi yang dimiliki secara individu. Rasionalitas sebagai ciri masyarakat perkotaan mendorong individu mengkritisir apa yang ia anggap cocok. Pada suatu suasana kehidupan, Saudara mungkin melakukan conformity atas kaidah lingkungan namun di sisi lain Saudara melakukan tinjauan kritis dan melepaskan diri dari kaidah-kaidah umum  yang berlaku.
Sebuah tesis mengenai kebudayaan dominan pernah dirumuskan oleh Brunner pada tahun 1970-an di Kota Bandung. Temuan dari penelitian Brunner menunjukkan bahwa Bandung memiliki kebudayaan dominan yaitu kebudayaan Sunda. Setiap pendatang dari luar daerah Bandung atau pendatang yang bukan penyandang kebudayaan Sunda melakukan konformitas terhadap kebudayaan dominan yang ada. Para pendatang menggunakan bahasa Sunda seperti halnya penduduk asli Kota Bandung dalam  interaksi mereka sehari-hari. Unit kajiannya adalah masyarakat asal Batak Toba. Tidak mengherankan bila di Kota Bandung ini banyak warga keturunan Batak Toba yang mahir berbahasa Sunda, bercara hidup seperti orang Sunda, dan adapula yang secara total meninggalkan adat kebiasaannya di daerah asal; meski dalam kesempatan tertentu identitas sebagai Batak Toba dimunculkan kembali dalam pertemuan-pertemuan internal etnis. Etnis-etnis lainpun mengadaptasikan dirinya dengan kebudayaan dominan Bandung. Secara langsung terjadi penyesuaian atau konformitas warga non Sunda terhadap kaidah-kaidah yang dianut oleh penduduk asli Kota Bandung. Kota Bandung sekarang bukanlah kota Bandung tahun 1970-an, berbagai perubahan telah terjadi, dan kebudayaan dominan, serta kaidah-kaidah yang berlaku pada tahun 1970-an pun mengalami pergeseran. Apakah tesis Brunner tersebut masih relevan bila diaplikasikan pada masyarakat yang telah mengalami pergeseran dan perubahan kaidah-kaidah masyarakatnya?


C.            PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial (social control) merupakan sebuah sistem atau dinamakan juga sistem pengendalian sosial. Akhir-akhir ini istilah social control diartikan secara sempit yaitu pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Social control tidak sesempit itu, yaitu mencakup segala proses yang direncanakan mapun tidak, bersifat mendidik, mengajakan, dan bahkan memaksa anggota masyarakat untuk mematuhi kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dapat berlangsung antar individu, semisal seorang ayah menentukan garis masa depan anak-anaknya agar sesuai dengan keinginan pribadi si ayah. Secara antar kelompok, pengendalian sosial dapat juga dilakukan, misalnya kaum minoritas melakukan pengendalian kepada kaum mayoritas untuk mengikuti kaidah-kaidah kaum minoritas. Demikian pula proses pengendalian sosial dapat dilakukan oleh kelompok kepada individu dan sebaliknya. Hal ini seringkali tidak disadari oleh manusia bahwa sesungguhnya dalam kehidupan sehari-harinya selalu terikat oleh sistem pengendalian sosial.
Tujuan dari pengendalian sosial adalah mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa adanya pengendalian, kehidupan sosial akan mengalami kekacauan yang mengakibatkan suasana chaos, karena pada hakikatnya kehidupan manusia terdiri atas kepentingan-kepentingan yang pada kenyataannya seringkali berbenturan. Dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial bertujuan menciptakan keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan (Soekanto, 2003:206).
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif atau bahkan keduanya secara sekaligus. Prevensi merupakan usaha pencegahan terhadap gangguan-gangguan pada harmoni  antara kepastian  dengan keadilan, dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan baik formal maupun informal. Represi merupakan usaha pengembalian keserasian yang pernah mengalami gangguan, dilakukan dengan penjatuhan sanksi terhadap pihak yang melanggar kaidah yang berlaku.
Proses pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara tanpa paksaan (persuasif) dan juga cara paksa (koersif). Cara yang ditempuh dilihat berdasarkan siapa yang melakukan pengendalian sosial dan dalam keadaan apa cara tersebut ditempuh. Penjalan pengendali sosial dapat dilihat apakah bersifat otoriter atau tidak, bila otoriter maka pengendalian sosial lebih mengedepankan sikap koersi daripada persuasi. Pada masyarakat yang stabil dan tenteram, cara persuasif lebih efektif daripada paksaan, sebaliknya dalam situasi chaos, cara represif lebih efektif dibandingkan metode persuasif.
Selain cara persuasif dan represif, ada pula teknik-tekni pengendalian compulsion dan pervasion. Cara compulsion merupakan penciptaan situasi sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat dan mengubah sikapnya, secara tidak langsung menciptakan kepatuhan. Cara pervasion  dilakukan melalui pengulangan penyampaian norma dan nilai sedemikian rupa sehingga masuk ke dalam bawah sadar seseorang dan mengubah sikapnya sehingga serasi dengan norma atau nilai yang disampaikan.
Agar hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat tercipta seperti yang diharapkan, norma-norma diaktifasi dan memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk membedakan kekuatan mengikat dari norma-norma, dikenal adanya empat pengertian:
a.       Cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perbuatan.
b.  Kebiasaan (folkways), menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk sama; pelanggaran terhadap kebiasaan tidak memiliki sanksi keras, hanya berupa gunjingan.
c.    Tata kelakuan (mores), merupakan kebiasaan yang dianggap cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. Sanksi atas pelanggaran mores cukup keras; dapat berupa caci maki atau hinaan
d.  Adat (custom), merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, sanksi yang diterima pelanggarnya sangat keras dan dapat menyebabkan penderitaan baik fisik maupun mental, misal dipenjara, dipasung, atau dikucilkan, disiksa, dan bahkan dibunuh.
Alat pengendali sosial yang digunakan sangat beraneka ragam. Setidaknya terdapat dua sifat, yaitu pengendalian sosial formal, contohnya pendidikan dan aturan hukum tertulis. Pengendalian bersifat informal seperti tata krama. Alat-alat tersebut dibangun agar pengendalian sosial dapat berjalan secara efektif.
Pengendalian sosial melibatkan atribut sanksi bagi para pelanggar kaidah, nilai, atau norma dalam masyarakat. Pelanggar norma hukum formal yang berlaku dalam masyarakat akan menghadapi sanksi hukum yang berwujud dalam bentuk pidana maupun perdata sesuai dengan aturan formal yang ada. Pelanggar terhadap norma tak tertulis, dapat dikenai gunjingan, pengucilan (alienasi) secara adat oleh suatu kelompok masyarakat yang memandang terjadinya pelanggaran norma.  Terkadang dalam suatu kelompok masyarakat, sanksi secara informal lebih efektif dalam pengendalian sosial. Sanksi sosial seperti gunjingan atau pengucilan tak jarang menyebabkan sesorang mati secara sosial; hidup dan berwujud namun tidak dianggap keberadaannya oleh anggota masyarakat lain.
Lazimnya penerapan pengendalian sosial dilakukan secara bertahap dari yang paling lunak hingga paling keras. Apabila tindakan yang lunak tidak diindahkan oleh seseorang yang melanggar maka tingkatan berikutnya diambil. Contohnya bila seorang mahasiswa melanggar ketentuan administratif universitas, langkah paling awal adalah diberikan peringatan untuk tidak melanggar dan memperbaiki sikap.  Bila mahasiswa tersebut masih melanggar, ia akan mendapat skorsing untuk beberapa waktu dan bahkan bisa saja ia dikeluarkan dari universitas.