Kamis, 23 Agustus 2012

KEPENDUDUKAN DAN KEHIDUPAN KELUARGA



A.            KEPENDUDUKAN
Secara harfiah kependudukan berarti jumlah penduduk yang hidup dalam suatu wilayah. Hal ini mengandung makna bahwa kependudukan dapat mengacu pada jumlah penduduk di berbagai ukuran wilayah, baik wilayah kecil maupun besar. Kependudukan juga dapat mengandung arti merujuk pada sekelompok masyarakat dengan karakteristik tertentu, misalnya orang Jakarta, orang Bandung, Inggris dan lain-lain. Untuk itu, pengertian kependudukan memiliki wakna kuantitatif dan kualitatif.
Konsep kependudukan tidak terlepas dari ukuran dan struktur masyarakat dengan berbagai macam realita sosial di dalamnya. Dalam ilmu sosial, kependudukan sangat penting untuk dikaji karena obyek ilmu pengetahuannya adalah manusia atau masyarakat karenanya konsep kependudukan sangat terkait dengan “permasalahan-permasalahan susulan” atasnya. Semisal permasalahan kesehatan, kesejahteraan, atau bahkan kejahatan. Lantas bagaimana terjadi perubahan ukuran penduduk? Banyak faktor yang melatarinya seperti kemajuan teknologi, geografi, atau medis yang masing-masing terkait namun membutuhkan penjelasan-penjelasan tersendiri.
Perkembangan jumlah penduduk dalam suatu daerah dapat dikaji melalui beberapa bagian, yaitu jumlah dan komposisi. Pada gilirannya, bagian-bagian tersebut memiliki permasalahan yang kompleks bagi suatu masyarakat sehingga diperlukan penanggulangan atas masalah penduduk.

A.1.  Jumlah Penduduk
Patokan baku yang dijadikan ukuran jumlah penduduk seperti telah diterangkan di atas mencakup berbagi ukuran wilayah. Wilayah yang terbesar adalah dunia. Diperkirakan jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 6 miliar orang dan juga diperkirakan akan terus bertambah setiap waktu. China dan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar pertama dan kedua. Satu pertiga penduduk dunia bertempat di China dan India. Negara-negara lainnya seperti Russia, Amerika Serikat, Indonesia, dan Kanada merupakan negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Negara-negara dunia ketiga pada umumnya adalah negara yang memiliki masalah jumlah penduduk yang besar.
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah terkait erat dengan kelahiran dan kematian. Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka kematiannya memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sebaliknya bila angka kelahiran lebih kecil daripada angka kematian, maka laju pertumbuhan penduduk dapat dikatakan rendah. Wilayah dengan angka kelahiran sama dengan angka kematian dikatakan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang stabil/konstan; contoh dari wilayah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang konstan adalah Skandinavia (Norwegia, Swedia, dan Finlandia). Indonesia adalah contoh wilayah yang penduduknya memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka kematian penduduk. Beri contoh negara yang memiliki angka kelahiran lebih kecil daripada angka kematian!
Jumlah penduduk dipengaruhi pula oleh kesempatan hidup. Kesempatan hidup yang lebih panjang membuat jumlah kematian lebih kecil daripada jumlah penduduk yang hidup. Dalam catatan sejarah, kesempatan hidup manusia dari masa ke masa mengalami peningkatan, artinya hidup seorang manusia kini relatif lebih lama dibandingkan masa terdahulu. Hal ini berkaitan dengan penemuan-penemuan dan peningkatan keterampilan medis, meningkatnya kemakmuran, dan langkanya peperangan dalam skala besar (angka kematian penduduk dunia relatif besar pada masa Perang Dunia I dan II). Kesempatan hidup penduduk Indonesia tahun 1930 rata-rata mencapai 30 tahun. Tahun 1960 kesempatan hidup tersebut naik menjadi 47,5 tahun dan kembali meningkat menjadi 54 tahun pada tahun 1980. Kini kesempatan hidup penduduk Indonesia mencapai 64 tahun.
Ledakan penduduk terjadi pada pasca Perang Dunia II. Meski perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia yaitu Blok Barat dan Blok Timur terjadi, dan beberapa peperangan melanda Asia, namun suasana tersebut relatif damai sehingga angka kematian dapat ditekan secara signifikan. Pada tahun 1950-1960 jumlah penduduk dunia meningkat secara tajam dan memberi istilah baby boomer pada masa tersebut. Di beberapa wilayah seperti Asia Tenggara dan Afrika terjadi revolusi dan peperangan namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran manusia di dunia.
Di Indonesia pada tahun 1950-1960 an, tak terkecuali, terjadi lonjakan penduduk khususnya di Pulau Jawa. Di tengah ketidakpastian situasi politik dan beberapa pemberontakan, laju pertumbuhan penduduk terjadi secara cepat. Meski perkembangan teknologi kesehatan, kesempatan hidup, dan kesejahteraan berjalan dengan lambat namun faktor penyebab ledakan penduduk dikarenakan adanya orientasi nilai budaya. Saat itu negara membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak karena ketersediaan lapangan kerja yang luas, meliputi pekerjaan formal dan pertanian. Budaya yang dimaksud adalah pemahaman ‘banyak anak banyak rejeki’.

A.2. Komposisi Penduduk
Faktor utama dalam kependudukan adalah komposisi penduduk. Suatu negara atau suatu wilayah dalam perkembangannya sangat bergantung pada komposisi penduduk yang dimilikinya. Komposisi ini berkaitan dengan nilai atau pandangan mengenai pertumbuhan khususnya sektor ekonomi. Budaya juga turut memberi nuansa pada permasalahan komposisi penduduk. Komposisi yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi usia dan jenis kelamin yang dianggap menentukan dalam konteks ekonomi-pembangunan.
Usia dalam arti bio-ekonomis menunjukkan tahap perkembangan kemampuan energi manusia untuk berproduksi. Karenanya usia dalam komposisi penduduk diberi nilai usia produktif dan usia non-produktif. Pada tataran tertentu penduduk dapat terbagai atas kelompok-kelompok usia, yakni anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Tidak ada batasan dalam kebudayaan mengenai usia produktif dan non produktif karena seringkali batasan-batasan ekonomis atas usia seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebagai ilustrasi, seorang anak berusia 9 tahun ternyata telah bekerja dan secara ekonomis terlibat dalam sistem-sistem produksi; atau seorang nenek berusia lebih dari 80 tahun juga masih terlibat dalam usaha warungnya, dengan kata lain, nenek tersebut masih menjalankan perilaku ekonomis meski keadaan biologisnya dikatakan nonproduktif.
Umumnya usia produktif berkisar antara 15-55 tahun dan usia nonproduktif berada di bawah dan di atasnya. Kaum bio-ekonomi percaya bahwa pada masa-masa usia demikian adalah kemampuan manusia secara optimal untuk mengeluarkan energi dalam produksi, atau dengan bahasa singkatnya “bekerja”. Pandangan ini merumuskan bahwa dalam sekelompok masyarakat atau negara perlu membandingkan jumlah usia produktif dan usia nonproduktif penduduk. Bila jumlah usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif maka secara ekonomis penduduk wlayah tersebut terjamin kesejahteraannya. Sebaliknya jika jumlah penduduk berusia produktif lebih kecil daripada penduduk usia nonproduktif, maka secara ekonomis, kesejahteraan masyarakat tersebut bersifat negatif.
Penduduk berusia produktif diasumsikan memasuki lapangan pekerjaan sebagai tenaga pencari nafkah. Penduduk usia produktif juga diandaikan menanggung hidup penduduk lain yang berusia nonproduktif. Artinya seseorang yang berusia produktif menanggung hidup dirinya secara individual dan juga menanggung hidup orang-orang lain yang nonproduktif. Perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dan non produktif menjadi bermakna bila dikaitkan dengan tanggungan hidup di atas. Sebagai contoh:
dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari 1000 orang, terdapat jumlah penduduk berusia produktif sebanyak 500 orang yang diasumsikan semuanya masuk ke dalam lapangan kerja. 500 orang lainnya berusia non-produktif terdiri dari anak-anak dan lanjut usia. Perbandingan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia non produktif sebesar 1:1. Dari angka-angka di atas dapat ditarik pengandaian bahwa setiap satu orang menanggung dirinya sendiri dan satu orang lainnya yang berusia nonproduktif.

Dari contoh di atas maka dapat ditarik suatu pernyataan ideal, yakni jika angka usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif maka tanggungan hidup orang lain yang harus ditanggung lebih kecil, artinya tingkat kemakmuran lebih tinggi jika jumlah usia produktif lebih besar daripada usia nonproduktif. Sebaliknya jika usia produktif lebih kecil daripada usia nonproduktif, tanggungan hidup menjadi lebih besar, artinya tingkat kemakmurannya rendah. Dapatkah Saudara menganalogikannya dalam suatu keluarga?
Selain usia produktif, jenis kelamin juga menjadi unsur penting bagi komposisi penduduk. Secara ekonomis, laki-laki adalah bagian penduduk yang umumnya berperan sebagai pencari nafkah. Semakin banyak jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki diasumsikan secara ekonomis memberikan keuntungan bagi masyarakat karena lebih banyak pencari nafkah dibandingkan dengan yang harus dinafkahi. Laki-laki dipandang kelak memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarganya dan menanggung hidup orang-orang di lingkungannya (keluarga).
Dari sisi budaya tentu saja hal tersebut tidak bersifat mutlak. Pandangan ekonomis yang konservatif memandang bahwa laki-laki sebagai unit pelaksana produksi bersifat tunggal dan mengabaikan perempuan dalam produksi. Pemahaman bahwa laki-laki “beroperasi” di ranah  publik (bekerja di luar rumah) dan perempuan “beroperasi” di ranah domestik (di dalam rumah/keluarga) yang kental menjadi penyebab utama pengabaian terhadap perempuan. Dihadapkan pada kenyataan sekarang, di era industri atau post-industri, kaum perempuan dapat juga bertindak mencari nafkah selain kaum laki-laki.

A.3. Masalah-masalah Kependudukan
Pertumbuhan penduduk bagaimanapun juga telah memberi berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Pertumbuhan penduduk dalam sejarah modern bersamaan dengan modernisasi mendorong terjadinya hal-hal berikut:
a.       Berkurangnya lahan pertanian sebagai penopang kebutuhan pangan
b.      Sulitnya mendapat kebutuhan bermukim
c.       Distribusi penduduk yang timpang
d.      Rasio lapangan kerja dengan tenaga kerja yang tidak memadai
e.       Pengangguran; dan
f.        Meningkatnya angka kriminalitas
Hal-hal di atas tersebut mungkin telah kita ketahui baik secara langsung maupun melalui media. Lahan pertanian yang semakin berkurang karena beralih fungsi sebagai permukiman, distribusi penduduk yang tidak merata (berkaitan dengan konsentrasi penduduk di Pulau Jawa), sulitnya mendapatkan lapangan kerja sehingga menimbulkan persaingan yang semakin ketat dan mereka yang gagal bersaing gagal untuk masuk lapangan kerja atau tidak memiliki pekerjaan. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat namun tidak terjangkau karena tidak memiliki pekerjaan mendorong terjadinya tindakan kriminal yang “terpaksa” dilakukan oleh seseorang.
Masalah kependudukan tersebut perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius. Pada masa orde baru, untuk mengatasi ledakan penduduk, secara serius dijalankan program Keluarga Berencana (KB) dengan semboyan “dua anak cukup”. Program transmigrasi pun dilaksanakan untuk menanggulangi ketimpangan distribusi penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa.  Bagaimana dengan yang terjadi di masa ini?


B.            INDUSTRIALISASI DAN KEHIDUPAN KELUARGA
Era industri dapat dianggap sebagai masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perubahan-perubahan terjadi pada struktur masyarakat secara radikal dan lebih daripada itu, industri pun mengubah wajah dunia dengan cepat. Perubahan yang terjadi pada struktur masyarakat tak terkecuali menyentuh pula pada ranah keluarga. Dalam format bakunya, keluarga mungkin tidak mengalami perubahan, komposisinya tetap, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak. Namun dalam peran-perannyalah terjadi perubahan.
Pada masyarakat pra industri, anak-anak berperan sebagai investasi tenaga kerja di kemudian hari yang akan bekerja bagi keluarganya, misalnya untuk bekerja di sawah atau ladang. Artinya anak secara langsung memiliki nilai ekonomi yang melekat pada dirinya sendiri dari sudut pandang orang tuanya. Hal ini berbeda dengan masyarakat industri. Pengalokasian kebutuhan sumber daya lebih bersifat atomis daripada kolektif. Alokasi kebutuhan berpusat pada keluarga inti saja dengan pusat peranannya berada pada orang tua. Anak-anak, meskipun merupakan investasi,  nilai ekonomisnya tidak lagi bersifat langsung, melainkan investasi bagi diri si anak tersebut kelak.
Ikatan emosional keluarga secara relatif menurun akibat industrialisasi. Acuan baku dalam bekerja telah menyebabkan interaksi antar anggota keluarga berkurang karena besarnya waktu yang dihabiskan di luar rumah. Anak-anak atau kaum muda menjadi “korban” dari berkurangnya intensitas dan acuan baku pekerjaan. Di saat lalu, pada waktu ayah bekerja  bekerja, anak-anak berada dalam pengawasan ibu, namun di era industri ini, baik ayah dan ibu dapat secara bersamaan memasuki lapangan kerja. Katup pekerjaan bagi perempuan kini terbuka banyak dan membuat perempuanpun dapat bekerja di sektor publik. Anak-anak berada di bawah pengawasan orang lain, sekolah misalnya.
Industrialisasi dan faktor-faktor hubungan sosial-psikologi pada masyarakat industri modern menyebabkan terbentuknya fenomena kaum muda untuk beberapa argumen berikut :
1.   Ketajaman division of labour (pembagian kerja) memisahkan keluarga dari proses-proses produksi modern dan administrasi. Dengan revolusi di bidang industri, timbul sebuah struktur institusi yang menyediakan “ruangan” bagi kaum muda.
2.   Dengan pembagian tenaga kerja, muncul sebuah peningkatan spesialisasi yang membawa individu memerlukan pendidikan. Kaum muda terpisah dari proses-proses industri oleh hukum ketenagakerjaan anak-anak.
3.   Peningkatan mutu obat-obatan modern dan nutrisi menuntun pada meningkatnya jumlah kaum muda.
4.   Peningkatan kompleksitas masyarakat modern berarti bahwa perbedaan individu-individu menuntun pada kehidupan yang sangat berlainan satu sama lain. Hal ini menyebabkan kaum muda menjadi mandiri dan berkuasa penuh membentuk norma-norma dan pola-pola perilaku yang terbebas dari orang dewasa.
5.   Sosialisasi dalam masyarakat modern terkarakterisasi oleh tingginya derajat ketidak berlanjutan dan ketidaktetapan. Hal tersebut menghasilkan individu yang tidak secara baik terintegrasi dan suatu periode waktu dibutuhkan  mereka untuk mampu menyempurnakan proses sosialisasi – suatu periode untuk menemukan jati dirinya, termasuk kenakalan dan kejahatan (Tittley, 1999).
Menurut Marx (1968), kaum muda seringkali tersisihkan dari masyarakat luas karena mereka menempati posisi marjinal atau teralienasi dalam konteks kapital. Epstein (1998) melihat bahwa kaum muda saat ini tengah teralienisasi dari kegiatan produksi. Epstein (1998) kemudian melanjutkan bahwa ada dua sisi yang mengkategorisasikan alienisasi tersebut, yaitu :
a.    pandangan struktural, dikarenakan oleh suatu masyarakat telah tersusun berdasarkan posisi struktur golongan yang dapat terlihat dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, kaum muda secara progresif dijauhkan dari beberapa aspek yang penting atas keberadaan sosial mereka oleh masyarakat dan organisasi ekonomi dalam masyarakat tersebut. Sekolah  dan bekerja telah menjadi acuan baku yang menambah ketidakberartian dan ketidakberdayaan kaum muda karena hanya sedikit meminta kemampuan intelektual dan kreativitas dalam mengembangkan dirinya.
b.    Pandangan  psikologis, dikarenakan perasaan  tak terpengaruh yang dirasa oleh individu dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan adanya perasaan manusia atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. 
Pandangan lain  dari Lury (1998), bahwa ekspresi generasi muda muncul menanggapi kondisi-kondisi perubahan ekonomi yang menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional, seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler “masyarakat industrial-makmur” menjadi semakin tajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar