A. KEPENDUDUKAN
Secara harfiah
kependudukan berarti jumlah penduduk yang hidup dalam suatu wilayah. Hal ini
mengandung makna bahwa kependudukan dapat mengacu pada jumlah penduduk di
berbagai ukuran wilayah, baik wilayah kecil maupun besar. Kependudukan juga
dapat mengandung arti merujuk pada sekelompok masyarakat dengan karakteristik
tertentu, misalnya orang Jakarta , orang Bandung , Inggris dan
lain-lain. Untuk itu, pengertian kependudukan memiliki wakna kuantitatif dan
kualitatif.
Konsep
kependudukan tidak terlepas dari ukuran dan struktur masyarakat dengan berbagai
macam realita sosial di dalamnya. Dalam ilmu sosial, kependudukan sangat
penting untuk dikaji karena obyek ilmu pengetahuannya adalah manusia atau
masyarakat karenanya konsep kependudukan sangat terkait dengan
“permasalahan-permasalahan susulan” atasnya. Semisal permasalahan kesehatan,
kesejahteraan, atau bahkan kejahatan. Lantas bagaimana terjadi perubahan ukuran
penduduk? Banyak faktor yang melatarinya seperti kemajuan teknologi, geografi,
atau medis yang masing-masing terkait namun membutuhkan penjelasan-penjelasan
tersendiri.
Perkembangan
jumlah penduduk dalam suatu daerah dapat dikaji melalui beberapa bagian, yaitu
jumlah dan komposisi. Pada gilirannya, bagian-bagian tersebut memiliki
permasalahan yang kompleks bagi suatu masyarakat sehingga diperlukan
penanggulangan atas masalah penduduk.
A.1. Jumlah
Penduduk
Patokan baku yang dijadikan
ukuran jumlah penduduk seperti telah diterangkan di atas mencakup berbagi
ukuran wilayah. Wilayah yang terbesar adalah dunia. Diperkirakan jumlah
penduduk dunia saat ini sekitar 6 miliar orang dan juga diperkirakan akan terus
bertambah setiap waktu. China
dan India
merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar pertama dan kedua. Satu
pertiga penduduk dunia bertempat di China
dan India .
Negara-negara lainnya seperti Russia ,
Amerika Serikat , Indonesia , dan Kanada merupakan
negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar. Negara-negara dunia ketiga pada
umumnya adalah negara yang memiliki masalah jumlah penduduk yang besar.
Pertumbuhan
penduduk di suatu wilayah terkait erat dengan kelahiran dan kematian. Suatu
wilayah yang memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka
kematiannya memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi. Sebaliknya bila angka
kelahiran lebih kecil daripada angka kematian, maka laju pertumbuhan penduduk
dapat dikatakan rendah. Wilayah dengan angka kelahiran sama dengan angka
kematian dikatakan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang stabil/konstan;
contoh dari wilayah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang konstan adalah
Skandinavia (Norwegia, Swedia, dan Finlandia). Indonesia adalah contoh wilayah
yang penduduknya memiliki angka kelahiran yang lebih tinggi daripada angka
kematian penduduk. Beri contoh negara yang memiliki angka kelahiran lebih kecil
daripada angka kematian!
Jumlah penduduk
dipengaruhi pula oleh kesempatan hidup. Kesempatan hidup yang lebih panjang
membuat jumlah kematian lebih kecil daripada jumlah penduduk yang hidup. Dalam
catatan sejarah, kesempatan hidup manusia dari masa ke masa mengalami
peningkatan, artinya hidup seorang manusia kini relatif lebih lama dibandingkan
masa terdahulu. Hal ini berkaitan dengan penemuan-penemuan dan peningkatan
keterampilan medis, meningkatnya kemakmuran, dan langkanya peperangan dalam
skala besar (angka kematian penduduk dunia relatif besar pada masa Perang Dunia
I dan II). Kesempatan hidup penduduk Indonesia tahun 1930 rata-rata
mencapai 30 tahun. Tahun 1960 kesempatan hidup tersebut naik menjadi 47,5 tahun
dan kembali meningkat menjadi 54 tahun pada tahun 1980. Kini kesempatan hidup
penduduk Indonesia
mencapai 64 tahun.
Ledakan
penduduk terjadi pada pasca Perang Dunia II. Meski perang dingin antara dua
kutub kekuatan dunia yaitu Blok Barat dan Blok Timur terjadi, dan beberapa
peperangan melanda Asia , namun suasana
tersebut relatif damai sehingga angka kematian dapat ditekan secara signifikan.
Pada tahun 1950-1960 jumlah penduduk dunia meningkat secara tajam dan memberi
istilah baby boomer pada masa tersebut. Di beberapa wilayah seperti
Asia Tenggara dan Afrika terjadi revolusi dan peperangan namun hal tersebut
tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran manusia di dunia.
Di Indonesia
pada tahun 1950-1960 an, tak terkecuali, terjadi lonjakan penduduk khususnya di
Pulau Jawa. Di tengah ketidakpastian situasi politik dan beberapa
pemberontakan, laju pertumbuhan penduduk terjadi secara cepat. Meski
perkembangan teknologi kesehatan, kesempatan hidup, dan kesejahteraan berjalan
dengan lambat namun faktor penyebab ledakan penduduk dikarenakan adanya
orientasi nilai budaya. Saat itu negara membutuhkan tenaga kerja yang sangat
banyak karena ketersediaan lapangan kerja yang luas, meliputi pekerjaan formal
dan pertanian. Budaya yang dimaksud adalah pemahaman ‘banyak anak banyak
rejeki’.
A.2. Komposisi Penduduk
Faktor utama
dalam kependudukan adalah komposisi penduduk. Suatu negara atau suatu wilayah
dalam perkembangannya sangat bergantung pada komposisi penduduk yang dimilikinya.
Komposisi ini berkaitan dengan nilai atau pandangan mengenai pertumbuhan
khususnya sektor ekonomi. Budaya juga turut memberi nuansa pada permasalahan
komposisi penduduk. Komposisi yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi usia
dan jenis kelamin yang dianggap menentukan dalam konteks ekonomi-pembangunan.
Usia dalam arti
bio-ekonomis menunjukkan tahap perkembangan kemampuan energi manusia untuk
berproduksi. Karenanya usia dalam komposisi penduduk diberi nilai usia
produktif dan usia non-produktif. Pada tataran tertentu penduduk dapat terbagai
atas kelompok-kelompok usia, yakni anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Tidak
ada batasan dalam kebudayaan mengenai usia produktif dan non produktif karena
seringkali batasan-batasan ekonomis atas usia seringkali tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan. Sebagai ilustrasi, seorang anak berusia 9 tahun ternyata
telah bekerja dan secara ekonomis terlibat dalam sistem-sistem produksi; atau
seorang nenek berusia lebih dari 80 tahun juga masih terlibat dalam usaha warungnya,
dengan kata lain, nenek tersebut masih menjalankan perilaku ekonomis meski
keadaan biologisnya dikatakan nonproduktif.
Umumnya usia
produktif berkisar antara 15-55 tahun dan usia nonproduktif berada di bawah dan
di atasnya. Kaum bio-ekonomi percaya bahwa pada masa-masa usia demikian adalah
kemampuan manusia secara optimal untuk mengeluarkan energi dalam produksi, atau
dengan bahasa singkatnya “bekerja”. Pandangan ini merumuskan bahwa dalam
sekelompok masyarakat atau negara perlu membandingkan jumlah usia produktif dan
usia nonproduktif penduduk. Bila jumlah usia produktif lebih besar daripada
usia nonproduktif maka secara ekonomis penduduk wlayah tersebut terjamin
kesejahteraannya. Sebaliknya jika jumlah penduduk berusia produktif lebih kecil
daripada penduduk usia nonproduktif, maka secara ekonomis, kesejahteraan
masyarakat tersebut bersifat negatif.
Penduduk
berusia produktif diasumsikan memasuki lapangan pekerjaan sebagai tenaga
pencari nafkah. Penduduk usia produktif juga diandaikan menanggung hidup
penduduk lain yang berusia nonproduktif. Artinya seseorang yang berusia
produktif menanggung hidup dirinya secara individual dan juga menanggung hidup
orang-orang lain yang nonproduktif. Perbandingan antara jumlah penduduk usia
produktif dan non produktif menjadi bermakna bila dikaitkan dengan tanggungan
hidup di atas. Sebagai contoh:
dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari 1000 orang,
terdapat jumlah penduduk berusia produktif sebanyak 500 orang yang diasumsikan
semuanya masuk ke dalam lapangan kerja. 500 orang lainnya berusia non-produktif
terdiri dari anak-anak dan lanjut usia. Perbandingan antara penduduk usia
produktif dengan penduduk usia non produktif sebesar 1:1. Dari angka-angka di
atas dapat ditarik pengandaian bahwa setiap satu orang menanggung dirinya
sendiri dan satu orang lainnya yang berusia nonproduktif.
Dari contoh di atas maka dapat
ditarik suatu pernyataan ideal, yakni jika angka usia produktif lebih besar
daripada usia nonproduktif maka tanggungan hidup orang lain yang harus ditanggung
lebih kecil, artinya tingkat kemakmuran lebih tinggi jika jumlah usia produktif
lebih besar daripada usia nonproduktif. Sebaliknya jika usia produktif lebih
kecil daripada usia nonproduktif, tanggungan hidup menjadi lebih besar, artinya
tingkat kemakmurannya rendah. Dapatkah Saudara menganalogikannya dalam suatu
keluarga?
Selain usia
produktif, jenis kelamin juga menjadi unsur penting bagi komposisi penduduk.
Secara ekonomis, laki-laki adalah bagian penduduk yang umumnya berperan sebagai
pencari nafkah. Semakin banyak jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki
diasumsikan secara ekonomis memberikan keuntungan bagi masyarakat karena lebih
banyak pencari nafkah dibandingkan dengan yang harus dinafkahi. Laki-laki
dipandang kelak memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarganya dan menanggung
hidup orang-orang di lingkungannya (keluarga).
Dari sisi
budaya tentu saja hal tersebut tidak bersifat mutlak. Pandangan ekonomis yang
konservatif memandang bahwa laki-laki sebagai unit pelaksana produksi bersifat
tunggal dan mengabaikan perempuan dalam produksi. Pemahaman bahwa laki-laki
“beroperasi” di ranah publik (bekerja di luar rumah) dan perempuan
“beroperasi” di ranah domestik (di dalam rumah/keluarga) yang kental menjadi
penyebab utama pengabaian terhadap perempuan. Dihadapkan pada kenyataan
sekarang, di era industri atau post-industri, kaum perempuan dapat juga
bertindak mencari nafkah selain kaum laki-laki.
A.3. Masalah-masalah
Kependudukan
Pertumbuhan
penduduk bagaimanapun juga telah memberi berbagai masalah dalam kehidupan
masyarakat. Pertumbuhan penduduk dalam sejarah modern bersamaan dengan
modernisasi mendorong terjadinya hal-hal berikut:
a.
Berkurangnya lahan pertanian sebagai
penopang kebutuhan pangan
b.
Sulitnya mendapat kebutuhan bermukim
c.
Distribusi penduduk yang timpang
d.
Rasio lapangan kerja dengan tenaga kerja
yang tidak memadai
e.
Pengangguran; dan
f.
Meningkatnya angka kriminalitas
Hal-hal di atas
tersebut mungkin telah kita ketahui baik secara langsung maupun melalui media.
Lahan pertanian yang semakin berkurang karena beralih fungsi sebagai
permukiman, distribusi penduduk yang tidak merata (berkaitan dengan konsentrasi
penduduk di Pulau Jawa), sulitnya mendapatkan lapangan kerja sehingga
menimbulkan persaingan yang semakin ketat dan mereka yang gagal bersaing gagal
untuk masuk lapangan kerja atau tidak memiliki pekerjaan. Kebutuhan hidup yang
semakin meningkat namun tidak terjangkau karena tidak memiliki pekerjaan
mendorong terjadinya tindakan kriminal yang “terpaksa” dilakukan oleh
seseorang.
Masalah
kependudukan tersebut perlu mendapatkan perhatian dan penanganan secara serius.
Pada masa orde baru, untuk mengatasi ledakan penduduk, secara serius dijalankan
program Keluarga Berencana (KB) dengan semboyan “dua anak cukup”. Program
transmigrasi pun dilaksanakan untuk menanggulangi ketimpangan distribusi
penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Bagaimana dengan yang terjadi
di masa ini?
B.
INDUSTRIALISASI DAN KEHIDUPAN KELUARGA
Era industri dapat dianggap
sebagai masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perubahan-perubahan
terjadi pada struktur masyarakat secara radikal dan lebih daripada itu,
industri pun mengubah wajah dunia dengan cepat. Perubahan yang terjadi pada
struktur masyarakat tak terkecuali menyentuh pula pada ranah keluarga. Dalam
format bakunya, keluarga mungkin tidak mengalami perubahan, komposisinya tetap,
yaitu ayah, ibu, dan anak-anak. Namun dalam peran-perannyalah terjadi
perubahan.
Pada masyarakat pra
industri, anak-anak berperan sebagai investasi tenaga kerja di kemudian hari
yang akan bekerja bagi keluarganya, misalnya untuk bekerja di sawah atau
ladang. Artinya anak secara langsung memiliki nilai ekonomi yang melekat pada
dirinya sendiri dari sudut pandang orang tuanya. Hal ini berbeda dengan
masyarakat industri. Pengalokasian kebutuhan sumber daya lebih bersifat atomis
daripada kolektif. Alokasi kebutuhan berpusat pada keluarga inti saja dengan
pusat peranannya berada pada orang tua. Anak-anak, meskipun merupakan investasi,
nilai ekonomisnya tidak lagi bersifat langsung, melainkan investasi bagi diri
si anak tersebut kelak.
Ikatan emosional keluarga
secara relatif menurun akibat industrialisasi. Acuan baku dalam bekerja telah menyebabkan
interaksi antar anggota keluarga berkurang karena besarnya waktu yang
dihabiskan di luar rumah. Anak-anak atau kaum muda menjadi “korban” dari
berkurangnya intensitas dan acuan baku
pekerjaan. Di saat lalu, pada waktu ayah bekerja bekerja, anak-anak
berada dalam pengawasan ibu, namun di era industri ini, baik ayah dan ibu dapat
secara bersamaan memasuki lapangan kerja. Katup pekerjaan bagi perempuan kini
terbuka banyak dan membuat perempuanpun dapat bekerja di sektor publik.
Anak-anak berada di bawah pengawasan orang lain, sekolah misalnya.
Industrialisasi dan
faktor-faktor hubungan sosial-psikologi pada masyarakat industri modern
menyebabkan terbentuknya fenomena kaum muda untuk beberapa argumen berikut :
1.
Ketajaman division of labour (pembagian kerja) memisahkan keluarga
dari proses-proses produksi modern dan administrasi. Dengan revolusi di bidang
industri, timbul sebuah struktur institusi yang menyediakan “ruangan” bagi kaum
muda.
2.
Dengan pembagian tenaga kerja, muncul sebuah peningkatan spesialisasi yang
membawa individu memerlukan pendidikan. Kaum muda terpisah dari proses-proses
industri oleh hukum ketenagakerjaan anak-anak.
3.
Peningkatan mutu obat-obatan modern dan nutrisi menuntun pada meningkatnya
jumlah kaum muda.
4.
Peningkatan kompleksitas masyarakat modern berarti bahwa perbedaan
individu-individu menuntun pada kehidupan yang sangat berlainan satu sama lain.
Hal ini menyebabkan kaum muda menjadi mandiri dan berkuasa penuh membentuk
norma-norma dan pola-pola perilaku yang terbebas dari orang dewasa.
5.
Sosialisasi dalam masyarakat modern terkarakterisasi oleh tingginya derajat
ketidak berlanjutan dan ketidaktetapan. Hal tersebut menghasilkan individu yang
tidak secara baik terintegrasi dan suatu periode waktu dibutuhkan mereka
untuk mampu menyempurnakan proses sosialisasi – suatu periode untuk menemukan
jati dirinya, termasuk kenakalan dan kejahatan (Tittley, 1999).
Menurut Marx (1968), kaum muda
seringkali tersisihkan dari masyarakat luas karena mereka menempati posisi
marjinal atau teralienasi dalam konteks kapital. Epstein (1998) melihat bahwa
kaum muda saat ini tengah teralienisasi dari kegiatan produksi. Epstein (1998)
kemudian melanjutkan bahwa ada dua sisi yang mengkategorisasikan alienisasi
tersebut, yaitu :
a.
pandangan struktural, dikarenakan oleh suatu masyarakat telah tersusun
berdasarkan posisi struktur golongan yang dapat terlihat dalam masyarakat.
Dalam pandangan ini, kaum muda secara progresif dijauhkan dari beberapa aspek
yang penting atas keberadaan sosial mereka oleh masyarakat dan organisasi
ekonomi dalam masyarakat tersebut. Sekolah dan bekerja telah menjadi
acuan baku yang menambah ketidakberartian dan ketidakberdayaan kaum muda karena
hanya sedikit meminta kemampuan intelektual dan kreativitas dalam mengembangkan
dirinya.
b.
Pandangan psikologis, dikarenakan perasaan tak terpengaruh yang
dirasa oleh individu dalam situasi tertentu. Hal ini disebabkan adanya perasaan
manusia atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.
Pandangan lain dari Lury
(1998), bahwa ekspresi
generasi muda muncul menanggapi kondisi-kondisi perubahan ekonomi yang
menghasilkan suatu masa ketika kontradiksi antara nilai-nilai tradisional,
seperti puritanisme, tanggung jawab, sikap hemat versus nilai-nilai baru
seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler “masyarakat industrial-makmur” menjadi semakin tajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar