Kamis, 23 Agustus 2012


TATANAN SOSIAL DAN PENGENDALIAN SOSIAL

Seperti yang diterangkan pada pembahasan sebelumnya, setiap masyarakat dipastikan memiliki lembaga kemasyarakatan. Lembaga kemasyarakatan yang ada dalam masyarakat sangat mungkin berbeda satu sama lain tergantung pada kebudayaan yang disandang oleh suatu masyarakat. Pada dasarnya lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi-fungsi berikut, yakni:
1.      Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
2.      Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
3.      Memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
Dalam pembentukannya lembaga kemasyarakatan berarti pula seperangkat norma dalam masyarakat yang dijadikan acuan bagi anggotanya. Dalam pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma tersebut mengalami beberapa proses:
1.      Pelembagaan atau institutionalization, proses yang dilewati suatu norma menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan hingga norma tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Melembaga atau internalized, norma-norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai tahap dikenal, diakui, dan ditaati. Lebih jauh, norma-norma tersebut menjadi pandangan hidup atau mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Masyarakat yang tersusun atas individu berupaya menyusun suatu tata kehidupan yang bersifat tertib menyeluruh. Perlu diperhatikan bahwa daya adaptasi tiap individu dan juga cara pandang individu terhadap tata tertib kehidupan tersebut sangat beragam. Ada yang sepakat dan turut dalam tata tertib yang menjadi standar dan adapula yang tidak menyepakati standar tersebut, bahkan menyimpang dari acuan standar dalam masyarakat.


A.            PENYIMPANGAN/DEVIANCE
Penyimpangan atau deviance ditujukan pada perilaku manusia yang menyimpang terhadap norma-norma dan nilai-nilai standar masyarakat. Deviasi pada masyarakat sederhana yang relatif statis tidak akan disukai oleh sebagian besar golongan masyarakat tersebut (Soekanto 2003:216). Pada prinsipnya deviasi terhadap kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat diperlukan suatu keberanian dan kebijaksanaan tersendiri dari para pelaku deviasi.
Tindakan deviasi dalam banyak hal tidak selalu bertentangan dengan kaidah hukum dalam masyarakat. Sebagai contoh apakah orang berbaju terbalik atau berjalan mundur merupakan sebuah bentuk tindakan melawan hukum? Hal tersebut dinyatakan sebagai sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh orang banyak. Dalam banyak kasus suatu fenomena devian yang dipandang tak lazim atau tak disukai oleh masyarakat lambat laun dirasakan manfaatnya dan akhirnya malah tindakan yang asalnya menyimpang tadi diterima pula oleh masyarakat secara luas, terutama sejauh tidak melanggar aturan hukum.
Sebagai contoh kasus tersebut di atas adalah fenomena waria. Waria pada masa lalu merupakan tindakan yang dianggap menyimpang dari kaidah-kaidah normatif masyarakat, melalui nilai humor yang dikemas dalam bentuk waria terutama oleh media, waria bahkan menjadi daya tarik utama bagi masyarakat dan masyarakatpun menerima keberadaan waria. Meski telah diterima, maraknya fenomena waria membuat dikeluarkannya kebijakan untuk menghentikan tayangan-tayangan waria. Bolehlah kita untuk menduga adanya maksud tersembunyi (hidden agenda) dari suatu kelompok yang menginginkan liberasi kaum waria.
Contoh deviasi yang monumental adalah fenomena punk (Hebdige, 1979). Punk dianggap devian oleh sebagian besar warga Inggris pada mulanya, meski tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum formal (Hawthorn, 1981). Golongan punk yang didominasi oleh kaum pekerja Inggris memunculkan simbol-simbol yang tak lazim secara konsensus masyarakat. Potongan rambut mohawk,  peniti, sepatu lars, atau kalung gembok memiliki arti-arti tersendiri yang dipahami oleh golongan punk, serta musik “tiga chord”, dan kritik dalam lirik-lirik musiknya nyaris tidak ada dalam kamus kehidupan masyarakat (terutama masyarakat kapitalis). Punk itu sendiri secara ideologis menentang bentuk-bentuk kapitalisme eksploitatif yang dikembangkan negara-negara di Eropa dan Amerika. Masyarakat Inggris saat itu tidak menerima sama sekali jenis gaya hidup tersebut namun sebaliknya gaya hidup punk  justeru diadopsi dan berkembang secara masif dalam bentuk pop bercorak ala punk yang jauh dari ideologi punk itu sendiri, melainkan berdandan seperti punk dan masuk dalam pusaran industri musik dunia kapitalisme (mengalami komodifikasi).
Kajian mengenai deviasi telah banyak dikembangkan oleh ahli ilmu sosial atau sosiologi pada khususnya (Soekanto, 2003:216). Robert K. Merton dalam karyanya Social Theory and Social Structure (1967) melihat terjadinya deviasi dari sudut struktur sosial dan budaya. Menurut Merton di antara segenap unsur sosial dan budaya dari setiap masyarakat, terdapat dua unsur terpenting, yakni:
1.      Kerangka aspirasi; dan
2.      Unsur/saluran yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi.
Menurut Merton, dalam setiap nilai sosial-budaya terdapat konsepsi mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Diperlukan kaidah-kaidah untuk mengatur kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus kaidah tersebut menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam masyarakat. Bila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran aspirasi akan menyebabkan terbentuknya perilaku menyimpang (deviant behavior). Artinya perilaku menyimpang terjadi bila manusia atau individu lebih mementingkan  suatu nilai sosial-budaya daripada kaidah-kaidah untuk mengatur hidupnya.
Argumentasi Merton tersebut menunjukkan terjadinya gejala memudarnya kaidah-kaidah dalam masyarakat. Masyarakat pada gilirannya tidak lagi berpegang pada kaidah-kaidah  untuk mengatur diri dan tertib sosialnya dan menimbulkan keadaan yang tidak stabil. Keadaan masyarakat yang tidak stabil atau tanpa kaidah dinyatakan sebagai anomie. Secara langsung pendapat Merton merujuk pada pengertian, deviasi terjadi sebagai respon terhadap anomie.

B.            CONFORMITY
Conformity  memiliki pengertian proses penyesuaian diri dengan masyarakat. Penyesuaian ini dilakukan dengan cara mengindahkan atau mentaati kaidah dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan di atas, kaidah diperlukan sebagai pengatur hubungan antar seseorang dengan orang lainnya, atau seseorang dengan masyarakatnya.
Masyarakat yang homogen dan tradisional biasanya memiliki sifat conformity yang relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang heterogen. Tradisi yang dipelihara dan dipertahankan dengan kuat menyebabkan warga masyarakat yang homogen atau tradisional tidak memiliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri terhadap kaidan dan nilai yang berlaku. Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, masyarakat tradisional akan cenderung seragam dan tidak melakukan pemilihan gaya berpakaian yang tidak umum dengan orang sekitarnya. Bila terdapat individu yang agak berbeda dari segi penampilan pakaiannya, ia akan mendapatkan celaan dari anggota masyarakat yang lain karena dianggap tidak biasa atau melanggar kaidah dan nilai masyarakat. Bandingkan dengan apa yang terjadi dalam  latar lingkungan perkotaan!
Dalam masyarakat tradisional dengan tradisi sangat kuat, kaidah-kaidah yang berlaku secara turun temurun telah mengakar dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak mengalami perubahan. Standar yang digunakan adalah standar warisan nenek moyang atau generasi terdahulu. Apalagi bila masyarakat tradisional tersebut sangat minim intensitas bersentuhannya dengan  dunia luar. Tindakan-tindakan yang menyimpang dari tradisi juga minim. Hal ini menunjukkan bila suatu masyarakat terbuka terhadap dunia luar atau memungkinkan terjadinya pertemuan kebudayaan-kebudayaan, potensi terjadinya deviasi cukup besar karena memungkinkan orang untuk memilih suatu nilai kebudayaan yang ia terapkan pada kehidupannya sehari-hari. Fenomena ini biasa terjadi pada masyarakat-masyarakat perkotaan atau masyarakat industri.
Masyarakat di kota-kota besar pada umumnya terdiri dari individu yang berlainan keadaannya. Para anggota masyarakat perkotaan senantiasa berupaya menyesuaikan diri dengan berbagai macam dan bentuk perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Kota pun dianggap sebagai gerbang masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang didukung piranti mutakhir dalam bidang informasi dan komunikasi massa, seperti televisi, surat kabar, ataupun internet. Hal ini memungkinkan masyarakat perkotaan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di luar lingkungannya. Sebagai contoh gaya berpakaian atau pola makan Saudara pun sangat mungkin dipengaruhi oleh suasana budaya yang berasal dari luar daerah Anda, yang berbeda dengan kaidah-kaidah umum setempat. Maka dengan demikian, conformity di kota-kota besar sangat kecil.
Conformity pada masyarakat kota besar, pada tataran tertentu, dianggap sebagai hambatan kemajuan dan perkembangan bagi individu. Sifat dasar dari conformity menghasilkan kepatuhan dan ketaatan penuh seringkali dikritisir sebagai pembatas potensi-potensi yang dimiliki secara individu. Rasionalitas sebagai ciri masyarakat perkotaan mendorong individu mengkritisir apa yang ia anggap cocok. Pada suatu suasana kehidupan, Saudara mungkin melakukan conformity atas kaidah lingkungan namun di sisi lain Saudara melakukan tinjauan kritis dan melepaskan diri dari kaidah-kaidah umum  yang berlaku.
Sebuah tesis mengenai kebudayaan dominan pernah dirumuskan oleh Brunner pada tahun 1970-an di Kota Bandung. Temuan dari penelitian Brunner menunjukkan bahwa Bandung memiliki kebudayaan dominan yaitu kebudayaan Sunda. Setiap pendatang dari luar daerah Bandung atau pendatang yang bukan penyandang kebudayaan Sunda melakukan konformitas terhadap kebudayaan dominan yang ada. Para pendatang menggunakan bahasa Sunda seperti halnya penduduk asli Kota Bandung dalam  interaksi mereka sehari-hari. Unit kajiannya adalah masyarakat asal Batak Toba. Tidak mengherankan bila di Kota Bandung ini banyak warga keturunan Batak Toba yang mahir berbahasa Sunda, bercara hidup seperti orang Sunda, dan adapula yang secara total meninggalkan adat kebiasaannya di daerah asal; meski dalam kesempatan tertentu identitas sebagai Batak Toba dimunculkan kembali dalam pertemuan-pertemuan internal etnis. Etnis-etnis lainpun mengadaptasikan dirinya dengan kebudayaan dominan Bandung. Secara langsung terjadi penyesuaian atau konformitas warga non Sunda terhadap kaidah-kaidah yang dianut oleh penduduk asli Kota Bandung. Kota Bandung sekarang bukanlah kota Bandung tahun 1970-an, berbagai perubahan telah terjadi, dan kebudayaan dominan, serta kaidah-kaidah yang berlaku pada tahun 1970-an pun mengalami pergeseran. Apakah tesis Brunner tersebut masih relevan bila diaplikasikan pada masyarakat yang telah mengalami pergeseran dan perubahan kaidah-kaidah masyarakatnya?


C.            PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial (social control) merupakan sebuah sistem atau dinamakan juga sistem pengendalian sosial. Akhir-akhir ini istilah social control diartikan secara sempit yaitu pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Social control tidak sesempit itu, yaitu mencakup segala proses yang direncanakan mapun tidak, bersifat mendidik, mengajakan, dan bahkan memaksa anggota masyarakat untuk mematuhi kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dapat berlangsung antar individu, semisal seorang ayah menentukan garis masa depan anak-anaknya agar sesuai dengan keinginan pribadi si ayah. Secara antar kelompok, pengendalian sosial dapat juga dilakukan, misalnya kaum minoritas melakukan pengendalian kepada kaum mayoritas untuk mengikuti kaidah-kaidah kaum minoritas. Demikian pula proses pengendalian sosial dapat dilakukan oleh kelompok kepada individu dan sebaliknya. Hal ini seringkali tidak disadari oleh manusia bahwa sesungguhnya dalam kehidupan sehari-harinya selalu terikat oleh sistem pengendalian sosial.
Tujuan dari pengendalian sosial adalah mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tanpa adanya pengendalian, kehidupan sosial akan mengalami kekacauan yang mengakibatkan suasana chaos, karena pada hakikatnya kehidupan manusia terdiri atas kepentingan-kepentingan yang pada kenyataannya seringkali berbenturan. Dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial bertujuan menciptakan keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan (Soekanto, 2003:206).
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif atau bahkan keduanya secara sekaligus. Prevensi merupakan usaha pencegahan terhadap gangguan-gangguan pada harmoni  antara kepastian  dengan keadilan, dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan baik formal maupun informal. Represi merupakan usaha pengembalian keserasian yang pernah mengalami gangguan, dilakukan dengan penjatuhan sanksi terhadap pihak yang melanggar kaidah yang berlaku.
Proses pengendalian sosial dapat dilakukan dengan cara tanpa paksaan (persuasif) dan juga cara paksa (koersif). Cara yang ditempuh dilihat berdasarkan siapa yang melakukan pengendalian sosial dan dalam keadaan apa cara tersebut ditempuh. Penjalan pengendali sosial dapat dilihat apakah bersifat otoriter atau tidak, bila otoriter maka pengendalian sosial lebih mengedepankan sikap koersi daripada persuasi. Pada masyarakat yang stabil dan tenteram, cara persuasif lebih efektif daripada paksaan, sebaliknya dalam situasi chaos, cara represif lebih efektif dibandingkan metode persuasif.
Selain cara persuasif dan represif, ada pula teknik-tekni pengendalian compulsion dan pervasion. Cara compulsion merupakan penciptaan situasi sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat dan mengubah sikapnya, secara tidak langsung menciptakan kepatuhan. Cara pervasion  dilakukan melalui pengulangan penyampaian norma dan nilai sedemikian rupa sehingga masuk ke dalam bawah sadar seseorang dan mengubah sikapnya sehingga serasi dengan norma atau nilai yang disampaikan.
Agar hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat tercipta seperti yang diharapkan, norma-norma diaktifasi dan memiliki kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk membedakan kekuatan mengikat dari norma-norma, dikenal adanya empat pengertian:
a.       Cara (usage), menunjuk pada suatu bentuk perbuatan.
b.  Kebiasaan (folkways), menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk sama; pelanggaran terhadap kebiasaan tidak memiliki sanksi keras, hanya berupa gunjingan.
c.    Tata kelakuan (mores), merupakan kebiasaan yang dianggap cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. Sanksi atas pelanggaran mores cukup keras; dapat berupa caci maki atau hinaan
d.  Adat (custom), merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, sanksi yang diterima pelanggarnya sangat keras dan dapat menyebabkan penderitaan baik fisik maupun mental, misal dipenjara, dipasung, atau dikucilkan, disiksa, dan bahkan dibunuh.
Alat pengendali sosial yang digunakan sangat beraneka ragam. Setidaknya terdapat dua sifat, yaitu pengendalian sosial formal, contohnya pendidikan dan aturan hukum tertulis. Pengendalian bersifat informal seperti tata krama. Alat-alat tersebut dibangun agar pengendalian sosial dapat berjalan secara efektif.
Pengendalian sosial melibatkan atribut sanksi bagi para pelanggar kaidah, nilai, atau norma dalam masyarakat. Pelanggar norma hukum formal yang berlaku dalam masyarakat akan menghadapi sanksi hukum yang berwujud dalam bentuk pidana maupun perdata sesuai dengan aturan formal yang ada. Pelanggar terhadap norma tak tertulis, dapat dikenai gunjingan, pengucilan (alienasi) secara adat oleh suatu kelompok masyarakat yang memandang terjadinya pelanggaran norma.  Terkadang dalam suatu kelompok masyarakat, sanksi secara informal lebih efektif dalam pengendalian sosial. Sanksi sosial seperti gunjingan atau pengucilan tak jarang menyebabkan sesorang mati secara sosial; hidup dan berwujud namun tidak dianggap keberadaannya oleh anggota masyarakat lain.
Lazimnya penerapan pengendalian sosial dilakukan secara bertahap dari yang paling lunak hingga paling keras. Apabila tindakan yang lunak tidak diindahkan oleh seseorang yang melanggar maka tingkatan berikutnya diambil. Contohnya bila seorang mahasiswa melanggar ketentuan administratif universitas, langkah paling awal adalah diberikan peringatan untuk tidak melanggar dan memperbaiki sikap.  Bila mahasiswa tersebut masih melanggar, ia akan mendapat skorsing untuk beberapa waktu dan bahkan bisa saja ia dikeluarkan dari universitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar