Kamis, 23 Agustus 2012

MASYARAKAT MAJEMUK




Pada bagian pertama telah diulas mengenai masyarakat majemuk, multikultur dan monokultur. Pada pertemuan kali ini, secara khusus akan membahas mengenai ketiga jenis masyarakat tersebut meliputi pengertian dan beberapa kajian yang relevan, serta permasalahan yang muncul dan menarik untuk ditelaah.

A.            MASYARAKAT MAJEMUK
Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S. Furnivall (1948). Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1.      Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2.      Bangsa-bangsa Asia (Cina, Arab, dan India) berada diurutan berikutnya; dan lapisan terbawah diduduki oleh
3.      Kaum pribumi
Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut merujuk pada pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Perlu dipahami bahwa penelusuran konsep masyarakat majemuk Furnivall berlangsung saat masa penjajahan yang melanda Indonesia. Wajar apabila elemen-elemen di atas tidak menunjukkan adanya pembauran satu sama lain; dan pula wajar bila pribumi berada di lapisan paling bawah karena kaum pribumi adalah kaum terjajah. Kaum terjajah dapat dikatakan tidak memiliki hak-hak lebih ketimbang sebagai pelayan kaum penjajah. Dugaan bahwa penempatan kaum pribumi sebagai lapisan terbawah bisa jadi sebagai justifikasi pihak kolonial untuk melanjutkan penjajahan. Dugaan ini juga boleh jadi dikarenakan Furnivall adalah seorang berkewarganegaraan Belanda yang ditugaskan untuk menyusun data mengenai masyarakat Indonesia.
Masyarakat majemuk menurut Furnivall yaitu suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. 
Sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk menurut Pierre L.Van Den Berghe, yakni:
1.      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer
3.      Kurang mengembangkan konsensus diantara anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
4.      Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
5.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Parsudi Suparlan menyatakan:
  1. Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional secara paksa (by force) menjadi bangsa dalam wadah negara à Indonesia, Suriname, Malaysia, dan Afrika Selatan
  2. Perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah dominan; masyarakat suku bangsa adalah minoritas.
  3. Dalam masyarakat majemuk ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial membedakan dominan dan minoritas
4.      Masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda menurut Funivall, disebut sebagai suatu type masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain karena perbedaan ras, masing-masing merupakan kumpulan individu-individu dari pada keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.
Sementara kehidupan orang-orang pribumi, seperti halnya dengan kehidupan orang Belanda dan orang-orang Tionghoa, tidaklah utuh pula. Di dalam kehidupan ekonomi, tidak adanya kehendak bersama menemukan pernyataannya dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh lapisan sosial masyarakat (common social demand). Setiap masyarakat politik, demikian menurut Furnivall, dari kelompak nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui suatu periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri. Diantaranya : membentuk keseniaannya sendiri, baik dalam bentuk sastra, seni lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan didalam kehidupan sehari-hari, berupa terbentuknya sistem pendidikan informal dimana setiap anggotanya tersosialisir sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
     Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua lapisan masyarakat menjadi sumber karakter ekonomi majemuk (plural economy). Apabila karakter ekonomi bersifat homogen dikendalikan oleh adanya common will, maka hubungan-hubungan sosial diantara lapisan masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama daripada tujuan masyarakat. Adakah common will yang tercipta dalam masyarakat Indonesia?
Pengertian masyarakat majemuk lebih lanjut berkembang tidak hanya berupa pelapisan atau stratifikasi semata. Majemuk itu sendiri secara harfiah berarti banyak atau beragam. Dari segi strata ekonomi, semua bangsa-negara tidak ada yang tidak dikatakan majemuk. Strata ekonomi atas-menengah-bawah selalu terdapat di setiap bangsa-negara, tentu dalam ukuran-ukuran tertentu. Dari sisi politik juga sama, dalam setiap bangsa-negara hak-hak dan perilaku berpolitik juga sangat beragam dan tidak mungkin semuanya setara.

B.            MASYARAKAT MULTIKULTUR
Konsep masyarakat multikultur menunjukkan arti suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya diwarnai dengan interaksi antar berbagai budaya. Artinya dalam suatu masyarakat, anggota-anggotanya berasal dari penyandang berbagai kebudayaan. Dalam konteks bangsa-negara, hal ini menunjukkan arti bahwa negara-bangsa tersebut terbangun oleh penduduk yang memiliki banyak kebudayaan. Sifat kebudayaan yang relatif (tidak ada yang lebih baik atau lebih bagus) atau berdaulat  idealnya tidak harus memunculkan dominasi dari suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain. Sejalan dengan itu Parsudi Suparlan mengemukakan konsepsinya tentang multikultur, yaitu:
1.      Pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan.
2.      Pengakuan dan penghargaan perbedaan kebudayaan melipuri ranah  individual maupun kelompok; dan
3.      Ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur
Paham multikultur diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni  kelompok anglo-saxon dan franco di pusat kekuasaan Kanada (Foster, L. & D. Stockley, 1989). Inti dari apa yang diperjuangkan penggagas multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Parekh (2001) menyatakan bahwa konsep multikulturalisme merujuk kepada pluralitas kebudayaan dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikultur bukan sekedar doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia atau masyarakat  yang pada kenyataannya memiliki perbedaan-perbedaan antar satu dengan  yang lainnya.
Konsep multikultur telah menjadi issue dunia. Bagaimanapun juga, pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penentu terciptanya kedaulatan kebudayaan. United Nations for Education, Science and Culture Organization (UNESCO) secara khusus menawarkan 6 (enam) program dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultur, yaitu:
1.       mencegah terjadinya diskriminasi;
2.      melakukan riset kebijakan mengenai pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multietnik;
3.      melakukan pertemuan, pertukaran dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi;
4.      menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan masyarakat multikultur;
5.      melakukan pendidikan mengenai hak-hak azasi manusia dan mendorong saling pemahaman antarbudaya;
6.      memperkuat kapasitas masyarakat lokal (indigenous people) sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.


C.            MASYARAKAT MONOKULTUR
Monokultur diartikan sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tunggal. Dalam konteks negara atau bangsa, apabila suatu negara atau bangsa tersebut hanya memiliki satu kebudayaan sebagai cara hidupnya maka dikatakan pula sebagai negara atau bangsa monokultur, meski di dalam masyarakatnya terdiri atas berbagai etnik (multietnik).
Dari sekian banyak negara di dunia ini, jumlah negara yang bersifat monokultur sangat sedikit saja jumlahnya. Beberapa diantaranya merupakan negara besar atau negara maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, atau Jerman. China meski tegolong multietnik namun dalam kehidupan sehari-hari, secara eksternal terlihat satu. Terlebih bila warga Republik Rakyat China keluar dari wilayahnya, mereka tetap akan mempertahankan identitasnya sebagai orang China yang selalu terikat dengan tanah asalnya. Bagaimana dengan warga etnis China yang hidup di Indonesia?
Dimilikinya satu kebudayaan bersama dalam sebuah negara memungkinkan kohesi sosial dalam negara tersebut sangat erat. Tiap-tiap warga negara merasa berkepentingan memajukan diri dan kebudayaannya dalam suatu kesatuan yang erat dan sulit dipisah satu sama lain. Jerman sebagai contoh, pada masa sebelum Perang Dunia II, kohesi yang erat antar mereka memunculkan paham etnonasionalis yang sangat kuat dan berupaya memajukan kepentingannya dengan semboyan uber alles. Meski pada akhirnya sifat etnonasionalis tersebut terjerumus pada sikap-sikap rasis, dengan menganggap ras-ras lain di luar ras Aria sebagai ras yang rendah Jepang pun kurang lebih sama halnya dengan Jerman.
Kohesi sosial yang erat memungkinkan suatu bangsa meraih tujuan bersama dalam konteks ekonomi. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan negara-negara monokultur tersebut berasal dari kepentingan-kepentingan warganya yang relatif lebih mudah dikelola ketimbang masyarakat multikultur. Proses transformasi ekonomi-sosial berjalan secara bersama-sama tanpa menemui hambatan. Negara-negara ini mengalami fase-fase pembangunan yang mantap, mulai sebagai masyarakat feodal agraris menjadi negara industri yang sangat besar dan memiliki fundamental ekonomi yang sangat kuat.
Dari sisi integrasi, negara-negara monokultur cenderung memiliki daya integrasi internal negara yang solid. Beberapa pandangan menyatakan bahwa gejala disintegrasi muncul karena ketimpangan ekonomi namun pandangan tersebut seringkali mengabaikan faktor kebudayaan. Negara-negara di Timur tengah sebenarnya memiliki ketimpangan ekonomi dalam lapisan masyarakatnya namun tidak tampak gejala diistegrasi. Hal ini lebih dikarenakan kesamaan kebudayaan dalam masyarakat tersebut ketimbang mempermasalahkan ketimpangan ekonomi. Pecahnya Yugoslaviapun tidak didasarkan pada ketimpangan ekonomi antar daerah di dalamnya namun lebih pada perbedaan kebudayaan dalam etnik-etnik yang hidup di Yugoslavia tersebut.
Indonesia dalam konteks kenegaraan memiliki cita-cita mewujudkan negara monokultur melalui falsafah bhineka tunggal ika. Pada masa orde baru, cita-cita ini secara gencar hendak dicapai agar terwujud kebudayaan Indonesia. Hasilnya secara makro, derajat kesejahteraan penduduk Indonesia meningkat dengan pesat, meski pembangunan sebagai paham orde tersebut pada kenyataannya tidak merata atau hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada gilirannya, setelah orde baru tumbang, daerah-daerah tertentu menyatakan siap keluar dari kesatuan negara.
Akar permasalahan tidak terwujudnya cita-cita menjadi negara dengan satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Indonesia adalah persatuan yang dibangun dilandaskan pada pemahaman kebudayaan suatu etnis. Ketimpangan ekonomi menjadi akibat dari perlakuan etnosentris yang diterapkan pada masa orde baru tersebut. Lalu seperti apakah kebudayaan Indonesia yang satu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar