Pada bagian pertama telah diulas mengenai masyarakat majemuk, multikultur
dan monokultur. Pada pertemuan kali ini, secara khusus akan membahas mengenai
ketiga jenis masyarakat tersebut meliputi pengertian dan beberapa kajian yang
relevan, serta permasalahan yang muncul dan menarik untuk ditelaah.
A. MASYARAKAT MAJEMUK
Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh
J.S. Furnivall (1948). Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang
berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat
Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1. Bangsa-bangsa Eropa
menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2. Bangsa-bangsa Asia (Cina,
Arab, dan India) berada diurutan berikutnya; dan lapisan terbawah diduduki oleh
3. Kaum pribumi
Konsep
masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut merujuk pada
pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik.
Perlu dipahami bahwa penelusuran konsep masyarakat majemuk Furnivall
berlangsung saat masa penjajahan yang melanda Indonesia. Wajar apabila
elemen-elemen di atas tidak menunjukkan adanya pembauran satu sama lain; dan
pula wajar bila pribumi berada di lapisan paling bawah karena kaum pribumi
adalah kaum terjajah. Kaum terjajah dapat dikatakan tidak memiliki hak-hak
lebih ketimbang sebagai pelayan kaum penjajah. Dugaan bahwa penempatan kaum
pribumi sebagai lapisan terbawah bisa jadi sebagai justifikasi pihak kolonial
untuk melanjutkan penjajahan. Dugaan ini juga boleh jadi dikarenakan Furnivall
adalah seorang berkewarganegaraan Belanda yang ditugaskan untuk menyusun data
mengenai masyarakat Indonesia.
Masyarakat majemuk menurut Furnivall yaitu suatu masyarakat dimana sistem
nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya
adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki
loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas
kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu
sama lain.
Sifat-sifat dasar
dari suatu masyarakat majemuk menurut Pierre L.Van Den Berghe, yakni:
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk
kelompok-kelompok yang sering memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama
lainnya
2. Memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer
3. Kurang mengembangkan konsensus
diantara anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar
4. Secara relatif integrasi
sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
5. Adanya dominasi politik oleh
suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Parsudi Suparlan
menyatakan:
- Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional secara paksa (by force) menjadi bangsa dalam wadah negara à Indonesia, Suriname, Malaysia, dan Afrika Selatan
- Perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah dominan; masyarakat suku bangsa adalah minoritas.
- Dalam masyarakat majemuk ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial membedakan dominan dan minoritas
4. Masyarakat Indonesia pada masa
Hindia-Belanda menurut Funivall, disebut sebagai suatu type masyarakat daerah
tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan
ras.
Dalam kehidupan
politik, pertanda paling jelas masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu
adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia
keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain karena
perbedaan ras, masing-masing merupakan kumpulan individu-individu dari pada
keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka
tidaklah utuh.
Sementara
kehidupan orang-orang pribumi, seperti halnya dengan kehidupan orang Belanda
dan orang-orang Tionghoa, tidaklah utuh pula. Di dalam kehidupan ekonomi, tidak
adanya kehendak bersama menemukan pernyataannya dalam bentuk tidak adanya
permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh lapisan sosial masyarakat
(common social demand). Setiap masyarakat politik, demikian menurut Furnivall,
dari kelompak nomad sampai bangsa yang berdaulat, berangsur-angsur melalui
suatu periode waktu tertentu membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri.
Diantaranya : membentuk keseniaannya sendiri, baik dalam bentuk sastra, seni
lukis, maupun musik, serta membentuk berbagai kebiasaan didalam kehidupan
sehari-hari, berupa terbentuknya sistem pendidikan informal dimana setiap
anggotanya tersosialisir sebagai anggota dari masyarakat tersebut.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua lapisan masyarakat menjadi sumber karakter ekonomi majemuk (plural economy). Apabila karakter ekonomi bersifat homogen dikendalikan oleh adanya common will, maka hubungan-hubungan sosial diantara lapisan masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama daripada tujuan masyarakat. Adakah common will yang tercipta dalam masyarakat Indonesia?
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua lapisan masyarakat menjadi sumber karakter ekonomi majemuk (plural economy). Apabila karakter ekonomi bersifat homogen dikendalikan oleh adanya common will, maka hubungan-hubungan sosial diantara lapisan masyarakat majemuk sebaliknya semata-mata dibimbing oleh proses ekonomi dengan produksi barang-barang material sebagai tujuan utama daripada tujuan masyarakat. Adakah common will yang tercipta dalam masyarakat Indonesia?
Pengertian masyarakat majemuk lebih lanjut berkembang tidak hanya berupa
pelapisan atau stratifikasi semata. Majemuk itu sendiri secara harfiah berarti
banyak atau beragam. Dari segi strata ekonomi, semua bangsa-negara tidak ada
yang tidak dikatakan majemuk. Strata ekonomi atas-menengah-bawah selalu
terdapat di setiap bangsa-negara, tentu dalam ukuran-ukuran tertentu. Dari sisi
politik juga sama, dalam setiap bangsa-negara hak-hak dan perilaku berpolitik
juga sangat beragam dan tidak mungkin semuanya setara.
B.
MASYARAKAT MULTIKULTUR
Konsep masyarakat multikultur
menunjukkan arti suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya diwarnai dengan
interaksi antar berbagai budaya. Artinya dalam suatu masyarakat,
anggota-anggotanya berasal dari penyandang berbagai kebudayaan. Dalam konteks
bangsa-negara, hal ini menunjukkan arti bahwa negara-bangsa tersebut terbangun
oleh penduduk yang memiliki banyak kebudayaan. Sifat kebudayaan yang relatif
(tidak ada yang lebih baik atau lebih bagus) atau berdaulat idealnya
tidak harus memunculkan dominasi dari suatu kebudayaan terhadap kebudayaan
lain. Sejalan dengan itu Parsudi Suparlan mengemukakan konsepsinya tentang
multikultur, yaitu:
1. Pengakuan dan penghargaan
pada kesederajatan perbedaan kebudayaan.
2. Pengakuan dan penghargaan
perbedaan kebudayaan melipuri ranah individual maupun kelompok; dan
3. Ditujukan terhadap golongan
sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur
Paham multikultur diawali oleh
perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni
kelompok anglo-saxon dan franco di pusat kekuasaan Kanada (Foster, L. & D. Stockley, 1989). Inti dari apa yang diperjuangkan penggagas
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun
agama.
Parekh
(2001) menyatakan bahwa konsep multikulturalisme merujuk kepada pluralitas
kebudayaan dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikultur bukan
sekedar doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan
manusia atau masyarakat yang pada kenyataannya memiliki
perbedaan-perbedaan antar satu dengan yang lainnya.
Konsep multikultur telah menjadi issue dunia.
Bagaimanapun juga, pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penentu terciptanya
kedaulatan kebudayaan. United
Nations for Education, Science and Culture Organization (UNESCO) secara khusus
menawarkan 6 (enam) program dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultur,
yaitu:
1. mencegah terjadinya diskriminasi;
2. melakukan riset kebijakan mengenai
pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multietnik;
3. melakukan pertemuan, pertukaran dan
sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi;
4. menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pengembangan masyarakat multikultur;
5. melakukan pendidikan mengenai hak-hak
azasi manusia dan mendorong saling pemahaman antarbudaya;
6. memperkuat kapasitas masyarakat lokal (indigenous
people) sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.
C.
MASYARAKAT MONOKULTUR
Monokultur
diartikan sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan tunggal. Dalam konteks
negara atau bangsa, apabila suatu negara atau bangsa tersebut hanya memiliki
satu kebudayaan sebagai cara hidupnya maka dikatakan pula sebagai negara atau
bangsa monokultur, meski di dalam masyarakatnya terdiri atas berbagai etnik
(multietnik).
Dari sekian
banyak negara di dunia ini, jumlah negara yang bersifat monokultur sangat sedikit
saja jumlahnya. Beberapa diantaranya merupakan negara besar atau negara maju
seperti Republik Rakyat China ,
Jepang, atau Jerman. China
meski tegolong multietnik namun dalam kehidupan sehari-hari, secara eksternal
terlihat satu. Terlebih bila warga Republik Rakyat China
keluar dari wilayahnya, mereka tetap akan mempertahankan identitasnya sebagai
orang China
yang selalu terikat dengan tanah asalnya. Bagaimana dengan warga etnis China yang hidup di Indonesia ?
Dimilikinya
satu kebudayaan bersama dalam sebuah negara memungkinkan kohesi sosial dalam
negara tersebut sangat erat. Tiap-tiap warga negara merasa berkepentingan
memajukan diri dan kebudayaannya dalam suatu kesatuan yang erat dan sulit
dipisah satu sama lain. Jerman sebagai contoh, pada masa sebelum Perang Dunia
II, kohesi yang erat antar mereka memunculkan paham etnonasionalis yang sangat
kuat dan berupaya memajukan kepentingannya dengan semboyan uber alles.
Meski pada akhirnya sifat etnonasionalis tersebut terjerumus pada sikap-sikap
rasis, dengan menganggap ras-ras lain di luar ras Aria sebagai ras yang rendah
Jepang pun kurang lebih sama halnya dengan Jerman.
Kohesi sosial
yang erat memungkinkan suatu bangsa meraih tujuan bersama dalam konteks
ekonomi. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan negara-negara monokultur
tersebut berasal dari kepentingan-kepentingan warganya yang relatif lebih mudah
dikelola ketimbang masyarakat multikultur. Proses transformasi ekonomi-sosial
berjalan secara bersama-sama tanpa menemui hambatan. Negara-negara ini mengalami
fase-fase pembangunan yang mantap, mulai sebagai masyarakat feodal agraris
menjadi negara industri yang sangat besar dan memiliki fundamental ekonomi yang
sangat kuat.
Dari sisi
integrasi, negara-negara monokultur cenderung memiliki daya integrasi internal
negara yang solid. Beberapa pandangan menyatakan bahwa gejala disintegrasi
muncul karena ketimpangan ekonomi namun pandangan tersebut seringkali
mengabaikan faktor kebudayaan. Negara-negara di Timur tengah sebenarnya
memiliki ketimpangan ekonomi dalam lapisan masyarakatnya namun tidak tampak
gejala diistegrasi. Hal ini lebih dikarenakan kesamaan kebudayaan dalam
masyarakat tersebut ketimbang mempermasalahkan ketimpangan ekonomi. Pecahnya
Yugoslaviapun tidak didasarkan pada ketimpangan ekonomi antar daerah di
dalamnya namun lebih pada perbedaan kebudayaan dalam etnik-etnik yang hidup di
Yugoslavia tersebut.
Indonesia dalam
konteks kenegaraan memiliki cita-cita mewujudkan negara monokultur melalui
falsafah bhineka tunggal ika. Pada masa orde baru, cita-cita ini
secara gencar hendak dicapai agar terwujud kebudayaan Indonesia. Hasilnya
secara makro, derajat kesejahteraan penduduk Indonesia meningkat dengan pesat,
meski pembangunan sebagai paham orde tersebut pada kenyataannya tidak merata
atau hanya berpusat di Pulau Jawa. Pada gilirannya, setelah orde baru tumbang,
daerah-daerah tertentu menyatakan siap keluar dari kesatuan negara.
Akar
permasalahan tidak terwujudnya cita-cita menjadi negara dengan satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Indonesia adalah persatuan yang dibangun dilandaskan pada
pemahaman kebudayaan suatu etnis. Ketimpangan ekonomi menjadi akibat dari
perlakuan etnosentris yang diterapkan pada masa orde baru tersebut. Lalu
seperti apakah kebudayaan Indonesia yang satu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar