Pengantar
Ilmu sosial, demikian
diistilahkan dan dijadikan nama baku yang berlaku di seluruh dunia. Semenjak
sekolah dasar dan sekolah lanjutan tentunya Saudara sekalian telah mengenal
istilah tersebut. Namun untuk semakin memperjelas pengertian mengenai ilmu
sosial itu sendiri, perlu kita kaji secara mendasar disiplin ilmu sosial,
kedudukannya, sejarah perkembangan, dan mengapa mahasiswa Jurusan Hubungan
Internasional perlu mempelajari mata kuliah ini.
Bukan tanpa dasar bahwa mata
kuliah ini menjadi program wajib bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, khususnya di Universitas Padjadjaran. Selain bahwa trend ilmu-ilmu
sosial makin menguat dengan perubahan dan tantangan zaman. Dinamika
perkembangan ilmu sosial yang dimulai secara “resmi” akhir abad ke-19;
perubahan tatanan masyarakat pasca revolusi industri, penguatan kesadaran akan
diri dan kelompok, serta hubungan interpersonal dalam berbagai lingkup;
meleburnya batas-batas wilayah negara pasca Perang Dunia ke-II; dan trend
terbaru yaitu era globalisasi. Lintasan masa dan peristiwa tersebut semakin
menguatkan pentingnya ilmu sosial untuk dikuasai mendampingi paradigma lain,
yaitu teknik-teknologi ataupun ilmu alam.
Secara mikro, ilmu sosial
menunjukkan identitas rumpun disiplin pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Luasnya lahan ilmu sosial untuk dipelajari membuat mata kuliah ini
dipersempit berdasarkan silabus yang disusun. Silabus akan berkembang dalam
perkuliahan: pembahasan konsep-konsep dasar dan mencoba mengaplikasikannya
dalam tataran tulis-pendapat mahasiswa. Maka kuliah ini akan mendorong saudara
sekalian untuk tidak sekedar menghapal melainkan juga melakukan analisis aktif
dan mengeluarkan gagasan.
Teknis perkuliahan semacam ini
memiliki dasar bahwa ilmu-ilmu sosial, bagaimanapun kurang dipandang bernilai
di mata mahasiswa. Persepsi bahwa ilmu alam lebih bergengsi nampaknya masih
kuat dan mengakar di kalangan mahasiswa. Sebagian lain menganggap bahwa ilmu
sosial adalah “ilmu mudah” dan cukup dihapal saja. Perlu saudara sekalian
ketahui bahwa persepsi demikianlah yang menyebabkan derajat ilmu sosial,
khususnya di Indonesia, tertinggal dibandingkan ilmu sosial di negara lain.
Tidak hanya itu, kalangan ahli sosial di Indonesia pun cenderung hanya sebagai
pengguna teori-teori dari luar Indonesia yang dalam penerapannya kerap tidak
sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Sangat sedikit ahli sosial
Indonesia yang mampu menggali, merumuskan, dan menyusun teori-teori ilmu sosial
yang orisinil berasal dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Sebaliknya,
para ahli sosial asing tertarik pada karakteristik masyarakat Indonesia
sehingga mereka menjadi ahli tentang Indonesia dan mampu menelurkan teori-teori
sosial tentang Indonesia. Para ahli asing tersebut kerap menjadi rujukan bagi
ahli sosial Indonesia; ironis memang, “tuan rumah tidak tahu letak mejanya
sendiri”. Namun itulah kenyataan, bahwa ahli sosial Indonesia tidak mengenali
karakteristik masyarakat di mana ia hidup.
Keadaan ini diperparah oleh
aplikasi teori yang salah kaprah. Dengan rujukan pada fenomena atau peristiwa
yang berlaku pada negara lain, dalam hal kebijakan negara, acuan terhadap
negara asing dicoba untuk diterapkan. Alih-alih memajukan yang terjadi malah
menyengsarakan. Kebijakan yang salah kaprahpun seringkali dilakukan di negara
ini. Minimnya pengusaan ilmu sosial membuat kebijakan tidak bertumpu pada cara
hidup masyarakat. Akibatnya terjadi penyamarataan program pembangunan yang
berorientasi “Jawa” yang mungkin tidak semuanya cocok untuk diterapkan di
berbagai wilayah dan kebudayaan di Indonesia. Hal penting lainnya untuk
“mengkaji ke dalam diri masyarakat Indonesia”, perlu dipahami bahwa dalam
konteks kebudayaan, Indonesia yang memiliki lebih dari 12.000 pulau, 300 rumpun
etnis dan bahasa, merupakan wahana ideal munculnya teori-teori ilmu sosial baik
teori kecil, menengah (middle-range theory), ataupun teori besar (grand
theory).
Konsepsi Ilmu Sosial
a.
Ilmu
Pengetahuan
Ilmu sosial secara harfiah
berarti ilmu yang membicarakan masyarakat. Ilmu atau ilmu pengetahuan berbeda
dengan pengetahuan, apakah yang dikatakan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan
merupakan kumpulan dari pengetahuan atau analisis manusia terhadap suatu
fenomena. Pengetahuan merupakan produk manusia berupa analisis-analisis aktif
maupun pasif. Soekanto (2003: 6) menyatakan pengeahuan merupakan kesan di dalam
pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya.
Contoh
pengetahuan analisis aktif:
Seseorang mendapati
sebuah batu yang sangat besar, secara aktif ia melakukan analisis bahwa
batu tersebut lebih kuat daripadanya, maka ia pun menyembah batu tanpa perlu
analisis lanjutan bahwa batu tersebut memberikan berkah bagi dirinya.
Contoh
pengetahuan analisis pasif:
Seseorang mengetahui bahwa
awan terletak di langit dan langit berada di atasnya. Ia tidak memerlukan
analisis sama sekali untuk menyatakan mana langit dan mana awan
Pengetahuan tidak memerlukan
suatu struktur sedemikian rupa. Pada dasarnya manusia berkemampuan
memiliki pengetahuan darimanapun sumbernya. Sifat pengetahuan merupakan
penuntun manusia untuk mengembangkan suatu pengetahuan lainnya. Oleh karenanya
pengetahuan dapat dikatakan merupakan bahan mentah terbentuknya ilmu
pengetahuan.
Merujuk pada pendapat Soekanto (2003: 6) ilmu pengetahuan terdiri
dari empat elemen, yaitu 1) pengetahuan yang tersusun secara 2) sistematis,
menggunakan atau 3) hasil pemikiran yang selalu dapat 4) diperiksa dan ditelaah
secara kritis untuk menyempurnakannya.
Artinya berdasarkan empat elemen tersebut ilmu pengetahuan bukanlah suatu yang
statis melainkan dinamis bergantung pada pengetahuan, sistematika, pemikiran,
dan penelaahan yang lebih lanjut. Ilmu pengetahuanpun bersifat akumulatif.
Masyarakat Eropa pada abad
pertengahan memiliki pengetahuan bahwa matahari mengelilingi bumi. Pengetahuan
tersebut berubah tatkala Copernicus melakukan serangkaian analisis yang
tersistematikakan dalam logika pemikiran aritmatik. Bumilah yang mengitari
matahari. Dikemudian hari, melalui serangkaian penelahaan diketahui bahwa dalam
peredaran mengelilingi matahari bumi pun memiliki rotasinya sendiri. Penelahaan
lebih lanjut menunjukkan tidak hanya bumi yang mengitari matahari, ada
sekurangnya 8 planet turut mengitari matahari dan mataharipun beredar
mengelilingi tata surya yang lebih besar; dan begitupun ke sembilan planet
lainnya.
Bagaimanakah dengan ilmu (pengetahuan) sosial? Mengacu pada pendapat
Soekanto (2003: 6) maka ilmu sosial pun memiliki elemen dan sifat yang sama:
dinamis dan akumulatif, senantiasa berubah, dan selalu dapat ditelaah.
Elemen-elemen tersebut membentuk suatu paradigma atau cara-cara pemecahan
teka-teki khususnya dalam mengkaji masyarakat. Dalam bukunya yang terkenal dan
masih sering dijadikan acuan para ahli ilmu pengetahuan, yakni The Structure of
Scientific Revolution (1972) Thomas Kuhn menyatakan bahwa elemen-elemen di atas
dapat dianggap merupakan model ideal bangunan ilmu pengetahuan. Kuhn (1972: 78)
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan akan bergeser bila dalam penelahaannya
didapat temuan yang lain yang memperbaiki bangunan ilmu yang telah ada. Dalam
ilmu pengetahuan normal, seorang ilmuwan mungkin berhadapan dengan fenomena
baru dan tak terduga yang menghasilkan suatu tipe unsur ilmu pengetahuan baru
yang melengkapi ilmu pengetahuan yang ada sebelumnya.
Sifat ilmu yang dinamis dan akumulatif membuat bangunan ilmu semakin hari
semakin berkembang, mantap, dan meluas. Inilah yang disebut khazanah ilmu
pengetahuan. Serangkaian penelahaan dalam suatu bidang ilmu pengetahuan telah
memudahkan para pelajar, mahasiswa, dan para ahli untuk mengambil tempat
sebagai pembangun dan pengguna ilmu pengetahuan. Peluang terciptanya penambahan
unsur dalam suatu ilmu pengetahuan makin terbuka bila kesempatan berpikir dan
berkarya untuk ilmu pengetahuan cukup terbuka.
b.
Selayang Pandang Ilmu Sosial
Ilmu sosial lahir tidak jelas kapan waktunya, seiring dengan adanya manusia
bermasyarakat tentu analisis dan penelahaan-penelahaan tentangnya terus
berlangsung. Artinya ilmu sosial adalah ilmu yang cukup tua usianya. Perlu
disadari bahwa kitab-kitab suci, tidak hanya secara dogma, secara ilmu
pengetahuan di dalamnya implisit mendeskripsikan kondisi suatu masyarakat pada
kurun waktu tertentu. Hal ini memberi petunjuk bahwa perhatian tentang masalah
sosial telah ada semenjak lama; bukan resmi pasca revolusi industri.
Kisah-kisah yang termaktub dalam kitab suci menyiratkan suatu proses
kehidupan sosial masyarakat, tentu dengan maksud mengajarkan suasana tertib
sosial (social order). Adam dan Hawa merupakan masyarakat pertama yang
diyakini oleh manusia, mengapa demikian? Masyarakat merupakan sekumpulan
individu yang memiliki kepentingan tertentu dan tujuan yang sama. Bentuk
terkecil dari masyarakat adalah keluarga. Berkaitan dengan Adam dan Hawa,
bukankah mereka adalah keluarga? Jika ya maka mereka berdua adalah satu
masyarakat.
Kisah Nuh, Yakub, Yusuf, hingga Muhammad pun secara implisit memiliki
pengertian kehidupan sosial. Di dalam kisah-kisah tersebut digambarkan
bagaimana kondisi sosial; proses-proses sosial yang menyangkut interaksi,
sistem dan struktur sosial, sosialisasi yang terjadi; kebudayaan, kepribadian
massa; suatu bentuk masyarakat majemuk, multikultur, dan monokultur; pranata
sosial, pengendalian sosial, konformitas, penyimpangan (deviance).
Selain itu juga digambarkan lapisan dan kelas sosial, mobilitas sosial,
kelompok, sistem kekerabatan, serta kekuasaan.
Secara ringkas, sejak manusia membentuk kelompok yang dinamakan masyarakat
maka di saat itu ilmu sosial tumbuh. Dalam perkembangannya, sistematika ilmu
serta metodeloginya mengalami penambahan dan penyempurnaan sehingga ilmu sosial
mantap berdiri di samping ilmu pengetahuan lain.
Perkembangan zaman yang terus bergulir diyakini membawa manusia sampai pada
peradaban berpikir kritis dengan menggunakan kemampuan panca inderanya.
Revolusi industri membawa akibat berubahnya tatanan sosial masyarakat dunia
(Eropa) saat itu. Ilmu sosial kemudian lebih berfokus pada perubahan-perubahan
interaksi, struktur sosial, dan sistem masyarakat yang terjadi akibat revolusi
industri.Hal ini menandai lahirnya sosiologi.
Di sisi lain, dari pusat peradaban besar dunia (Eropa dan Timur Tengah)
muncul semangat ekspansi ke luar daerah tersebut. Penemuan-penemuan daerah baru
yang memiliki cara hidup yang berbeda dengan standar Eropa dan Timur Tengah
menjadi bahan kajian yang menarik. Catatan-catatan para pengelana seperti Ibnu
Batuta, Marcopolo, dan Colombus tentang cara hidup masyarakat “dunia baru”
mendorong lahirnya ilmu antropologi.
Tekanan demografi akibat bertambahnya penduduk dunia berhadapan dengan
keterbatasan lahan pangan membuat masyarakat perlu melakukan strategi
menanggulangi kekurangan pangan. Kekurangan pangan akan berdampak pada
rentannya daya hidup suatu masyarakat. Alokasi dan distribusi pangan inilah yang
menjadi cikal bakal lahirnya ilmu ekonomi.
Revolusi industri membuat struktur masyarakat berubah secara drastis.
Aset-aset seperti lahan atau perusahaan yang pada masa sebelumnya menjadi milik
raja dan bangsawan, dikuasai oleh pengusaha/swasta. Untuk menggerakkan aset
tersebut para pengusaha atau pemilik modal memerlukan tenaga kerja. Tenaga
kerja merupakan manusia-manusia yang bergerak menjalankan sistem yang
ditentukan oleh pengusaha. Agar sistem dapat berjalan dengan baik maka
pengusaha harus mampu mengatur tenaga kerjanya untuk dapat menjalankan usaha
sesuai dengan keinginan pengusaha. Pengaturan tenaga kerja tersebut
melahirkan ilmu managemen.
Kekusaan negara (raja dan kaum bangsawan) sebagai regulator kehidupan
sosial meluntur akibat revolusi industri. Golongan ini perlu melakukan tata
aturan bagi masyarakat untuk melindungi kepentingan golongan dan kepentingan
masyarakat sehingga kehidupan negara antara pemimpin dengan yang dipimpin dapat
sinergis. Hubungan dengan negara-negara lain juga perlu ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan negara yang bersangkutan. Hubungan tersebut dapat berupa
kerja sama atau juga konflik. Proses tersebut mendorong terbentuknya ilmu
politik modern yang berkaitan dengan ilmu hukum tata negara dan hubungan
internasional
Selayang pandang ilmu sosial dapat diteruskan berkaitan dengan era
globalisasi kini. Pemahaman-pemahaman baru muncul dalam disiplin ilmu sosial
berkaitan dengan “mengkerutnya dunia” karena kemajuan teknologi dan tingginya
peradaban manusia. Mitos bahwa globalisasi membuat masyarakat dunia kembali
pada “kondisi dunia datar” (flat earth society), di manapun juga
bermukim suatu masyarakat, mau tidak mau mereka terkena imbas dari globalisasi.
Peristiwa yang terjadi di New York hari ini, menit ini, detik ini, dalam beberapa
saat sudah diketahui oleh Saudara-saudara yang bermukim di Jatinangor. Dunia
seakan datar dan dilipat, di manakah orang yang tidak mengetahui bentuk botol
dan warna Coca-cola? Justeru karena itulah ilmu sosial semakin dianggap penting
untuk memandang dunia manusia era globalisasi.
Alih-alih menciptakan warga dunia satu kehidupan melalui globalisasi
justeru di lain sisi paham lokalisasi muncul dan menguat. Identitas-identitas
baru bermunculan dalam berbagai lingkup. Globalisasi menghasilkan paradoks, di
satu sisi meleburkan batas-batas teritori namun di lain sisi menguatkan
batas-batas identitas. Dan identitas ini melebur pula bersama batas teritori.
Dapatkah Anda bayangkan bahwa satu perusahaan begitu berkuasa mengatur
kehidupan satu negara? Itulah yang terjadi di masa sekarang. Fenomena tersebut
merupakan satu dari sekian banyak fenomena yang harus ditelaah oleh ahli ilmu
sosial atau setidaknya calon ahli ilmu sosial untuk menambah khazanah ilmu dan
penemuan teori maupun aplikasinya di masa mendatang.
Walau perkembangan ilmu sosial sedemikian maju, namun bukan berarti harus
meninggalkan konsep-konsep dasarnya. Dalam mata kuliah ini konsep-konsep dasar
menjadi sangat penting dalam membantu Anda merumuskan suatu telahaan sosial.
Konsep dasar, bagaimanapun perlu dipelajari bukan sekedar dihapal, tetapi
dipahami dan diaplikasikan sesuai dengan disiplin ilmu yang Anda geluti, yaitu
Hubungan Internasional. Selain konsep dasar, teori-teori sosial klasik dan
kontemporer akan dituangkan juga dalam mata kuliah Dasar-dasar Ilmu Sosial.
C. Ilmu
Sosial di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan luas lautan sekitar
81.000 Km2 dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk
Indonesia yang tersebar di berbagai pulau memiliki kebudayaan yang berbeda dan
kemajemukan dalam sistem sosialnya. Di lain sisi, dalam wadah kesatuan negara,
Indonesia memiliki payung kebudayaan Indonesia. Artinya Indonesia adalah bangsa
yang majemuk, multikultur, dan sekaligus monokultur. Apa pentingnya ilmu sosial
memandang hal tersebut? Justeru karena ketiga sifat inilah Indonesia merupakan
gudang terbentuknya teori-teori ilmu sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, kemajemukan mudah terlihat
dari sisi ekonomi. Dapatkah Anda katakan bahwa kemampuan ekonomi bangsa
Indonesia sama? Tentu jawabannya tidak. Ada yang memiliki kemampuan ekonomi
tinggi, menengah, dan rendah. Setidaknya itulah jawaban singkat dari pertanyaan
tersebut. Demikian pula dalam politik, tidak semua warga memiliki kesempatan
berpolitik yang sama, selalu ada tingkatan elit dan akar rumput. Di setiap suku
bangsa pembedaan-pembedaan tersebut selalu terjadi dan menunjukkan kemajemukan
dalam berbagai tingkatan masyarakat.
Indonesia juga merupakan negara multi etnik, disadari ataupun tidak, dalam
kehidupan sehari-hari seringkali kita berinteraksi dengan etnik lain sesama
bangsa Indonesia. Sampai saat ini belum diperoleh data pasti jumlah kelompok
etnik yang menghuni bumi Nusantara. Hildred Geertz, misalnya, menyebutkan bahwa
di Indonesia hidup lebih kurang 300 kelompok suku bangsa yang memiliki bahasa
dan identitas satu sama lain berbeda. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
memiliki banyak ragam kebudayaan atau masyarakat multikultural. Masing-masing
kebudayaan sama kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah.
Masalahnya “kaca mata” yang dipakai seringkali bersifat kesukuan (etnosentris)
sehingga pandangan bahwa kebudayaan A lebih tinggi daripada kebudayaan B nyata
terjadi, terlebih setelah masa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun.
Dibawah naungan Bhineka Tunggal Ika, bangsa Indonesia menyatakan satu
kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia. Walaupun berbeda, bangsa ini memiliki
rasa kesamaan tujuan dalam konteks bernegara. Kesadaran sebagai satu bangsa
tertanam di setiap etnik. Terlepas dari kasus-kasus desintegrasi yang terjadi
di beberapa wilayah di Nusantara, pada prinsipnya pengakuan sebagai satu bangsa
dimiliki oleh warga negara yang menghuni Indonesia.
Sangat sulit untuk menelaah satu persatu masyarakat yang majemuk,
multikultur, dan monokultur seperti Indonesia. Ruang publik menjadi arena
bertemunya elemen masyarakat dan membangun interaksi sosial. Masalahnya
cukupkah ruang publik tersebut tersedia di Indonesia? Meski dalam
kekurangannya, Saudara-saudara akan lebih mudah mengobservasi proses sosial
warga Indonesia melalui pendekatan ruang publik.
Permasalahan sosial yang terjadipun tidak kalah menarik untuk dikaji. Issue
ketimpangan, gaya hidup, atau politik yang terjadi di Indonesia sangat beragam
dan dinamis. Kehidupan sosial masyarakat Indonesia menyerupai sebuah panggung
pertunjukan, demikian dikatakan oleh Clifford Geertz. Benedict Anderson bahkan
menyebut Indonesia sebagai The Imagined Community. Kelas-kelas atau
lapisan sosial yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia menunjukkan pembedaan
yang tajam dan masing-masing memiliki identitas masing-masing, saling
bersentuhan namun tidak saling merembes antar lapisan tersebut.
Jauh-jauh hari ahli-ahli sosial asing telah mengidentifikasi Indonesia.
Baik untuk kepentingan akademis maupun praktis. Banyak ahli sosial asing yang
sangat paham mengenai Indonesia dan menemukan teori yang berasal dari
masyarakat Indonesia, sebagai contoh Clifford Geertz merumuskan teori
Abangan-Santri-Priyayi yang menunjukkan karakteristik kehidupan sosial di
Indonesia. J.S Furnivall merumuskan teori masyarakat majemuk Indonesia yang
terdiri dari bangsa Eropa sebagai lapisan teratas, di bawahnya terdapat warga
asing non-Eropa, dan lapisan terbawah adalah kaum pribumi. Edward Brunner
menghasilkan tesis tentang kebudayaan dominan yang hidup menaungi kebudayaan
lain. Dari sisi praktis, Snouck C. Hurgronje menemukan teori atau formula
memenangkan peperangan melawan bangsa Indonesia, yaitu kuasai agamawan dan
kesadaran beragama. Masih banyak ahli sosial lain yang mempelajari dan
merumuskan teori tentang Indonesia. Diplomat asing pun dibekali pengetahuan
tentang seluk beluk Indonesia, sehingga saat bertugas sebagai diplomat di
Indonesia mereka telah merasa mengenal betul kondisi Indonesia, kebudayaan, dan
termasuk cara berdiplomasi untuk memenangkan tujuan negaranya. Di manakah ahli
sosial Indonesia dan apa perannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar