A. MASYARAKAT
Konsep masyarakat mengacu pada sekumpulan individu yang
aktif dan dinamis, memiliki kepentingan dan tujuan hidup yang relatif sama.
Sekumpulan manusia dapat dikatakan masyarakat apabila memiliki kesadaran
sebagai satu kesatuan. Bisa jadi bahwa masyarakat, secara luas, tidak terlalu
menekankan pada pembatasan-pembatasan kewilayahan. Namun dalam kehidupan sosial
sehari-hari, konsep masyarakat selalu berada dalam dimensi ruang dan waktu.
Masyarakat bukanlah suatu yang statis-linear. Secara
mikro, di dalam masyarakat selalu terdapat dinamika-dinamika yang mengandung di
dalamnya benturan-benturan kepentingan, akomodasi atas kepentingan anggota
masyarakat, dan terkadang pengendalian sosial terhadap benturan kepentingan
dilakukan secara paksa (koersif).
Satu hal yang pasti, di dalam setiap masyarakat
dikembangkan mekanisme pengaturan sosial. Dalam masyarakat terdapat pengaturan
peran dan fungsi anggota-anggotanya. Pengaturan peran dan fungsi dalam
masyarakat mewujudkan suatu sistem yang saling terkait secara fungsional, antar
satu anggota dengan anggota yang lain terkait dan saling memberikan hal yang
bermakna.
Sistem yang menjalankan masyarakat akan terganggu
manakala salah satu komponennya mengalami gangguan. Bila seorang anggota
masyarakat tidak menjalankan peran dan fungsinya maka akan terdapat gangguan
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan pengertian dari sistem yang
memiliki organ-organ. Dalam pandangan anatomis, bila salah satu organ tubuh mengalami
gangguan maka seluruh tubuhpun akan terkena imbasnya dan membuat tubuh
terganggu stabilitas dan fungsinya secara menyeluruh. Bayangkan jika salah satu
jari tangan Saudara patah, apa yang terjadi? Keseluruhan tubuh akan terganggu
meski dalam tataran waktu berikutnya stabilitas dan fungsi tubuh Saudara akan
menemukan keseimbangan baru seperti sediakala. Proses keseimbangan baru ini
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki daya homeo-statis atau mampu
mengatur dirinya sendiri.
Daya homeo-statis, proses penemuan keseimbangan, tidak
bersifat given. Masyarakat yang sifatnya aktif melakukan
konsensi-konsesi bagaimana cara menemukan keseimbangan baru tersebut, artinya
keseimbangan dalam masyarakat merupakan hasil dari pemikiran yang dilaksanakan
untuk mengatur diri masyarakat. Pengaturan inilah yang dimaknai sebagai
kebudayaan.
Masyarakat menghasilkan kebudayaan terutama sekali
sebagai alat. Dalam mengatur atau mencapai tujuan-tujuan masyarakat, tidak
dapat dilepaskan dengan lingkungan alam tempat suatu masyarakat hidup.
Pengaturan atau kebudayaan dalam masyarakat berarti suatu respon adaptif
terhadap lingkungan alam. Masyarakat secara aktif membentuk kebudayaan
berdasarkan lingkungan alam yang mereka hadapi, sebagai contoh antara
masyarakat nelayan dan masyarakat petani pegunungan memiliki cara yang berbeda
dalam pengaturan diri masyarakatnya, paling mudah disaksikan adalah bagaimana
penggunaan teknologi yang dikembangkan untuk mengolah alam demi mencapai tujuan
kelangsungan hidup.
Community
Bentukan-bentukan
masyarakat sangat bercorak dari tempat hidup, jumlah, dan intensitas
interaksinya. Suatu bentukan yang menunjuk pada masyarakat di suatu tempat
tertentu diistilahkan dengan community. Besaran jumlahnya relatif bisa
besar atau kecil dan terpenting memiliki sifat seperti masyarakat yaitu
memiliki kepentingan dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup anggotanya.
Community memiliki suatu perasaan saling terkait antar satu sama
lain. Bentukan masyarakat ini memiliki kadar seperasaan yang tinggi, saling
berusaha mengidentifikasi satu dengan yang lain. “Aku dan dia adalah sama-sama
penduduk tempat ini.” Karena intensitas interaksi antar anggotanya relatif
tinggi, maka kesadaran peran-peran anggotanya muncul dalam kehidupan
berkelompok. Tingkat kesadaran peran yang tinggi ini mewujudkan kohesi sosial
yang lebih erat daripada masyarakat besar. Antar masing-masing anggota
komunitas juga memiliki rasa saling memerlukan, saling tergantung, dan bahkan
saling mengandalkan anggota-anggota lain dalam komunitas untuk memenuhi kepentingan
dan tujuan hidup seorang anggota komunitas.
Konsep community atau komunitas seringkali
tersalahkan dalam hal penggunaan peristilahannya. Komunitas merujuk pada orang
yang secara permanen mendiami suatu tempat tertentu. Namun dewasa ini istilah komunitas
sering digunakan pada kelompok-kelompok hobby yang berkumpul di suatu tempat
dan anggotanya tidak permanen menetap di tempat tersebut. Sebagai contoh
komunitas baca “A” atau komunitas skateboard yang anggotanya memiliki
tempat bermukim yang mungkin saling berjauhan. Apakah Saudara pernah menemukan
fenomena tersebut dan mengapa terjadi kesalahkaprahan demikian? Seringkali
anggota masyarakat kita tidak menemukan padanan kata dalam Bahasa Indonesia dan
juga karena penggunaan bahasa asing yang dipandang lebih baik dan prestisius.
Istilah komunitas yang biasa digunakan adalah kelompok kecil homogen berkumpul
di suatu tempat. Makna berkumpul dengan menetap tentu saja berbeda,
kesalahkaprahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan istilah “perkumpulan”
atau “perhimpunan” (tidak mendasarkan pada lokasi menetap anggotanya); namun
agaknya istilah ini kurang dipandang bergengsi daripada “komunitas” (meski
salah dalam penerapannya).
B.
KEBUDAYAAN
Orang seringkali berbicara tentang kebudayaan. Demikianpula
dalam kehidupan sehari-hari sangat tidak mungkin manusia tidak berhubungan
dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari manusia melihat dan menggunakan
kebudayaan dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Lantas apakah kebudayaan
itu?
Sangat banyak definisi tentang kebudayaan yang dirumuskan
oleh para ahli sosial. Seorang antropolog klasik E.B Tylor (1871: dalam
Soekanto: 172) menyatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa kebudayaan
mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soekardi (Soekanto: 173) merumuskan
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Havilland
(1985:333) menyatakan kebudayaan merupakan seperangkat peraturan dan
standar, yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan
perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggota masyarakatnya.
Dari definisi kebudayaan yang dirumuskan di atas oleh
para ahli dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil manusia yang
bersifat prosesual. Prosesual karena kebudayaan bersifat dinamis, dapat berubah
sesuai kondisi masyarakat yang menyandang kebudayaan tersebut. Tidak ada
kebudayaan yang tidak berubah dalam lintasan hidup masyarakat di dunia ini.
Kebudayaan yang diciptakan manusia diwariskan dengan
jalan dipelajari, bukan secara genetis. Seseorang yang berkebudayaan Sunda
misalkan, tidak dengan sendirinya kelak memiliki keturunan yang berbudaya Sunda
juga tanpa mewariskan pembelajaran tentang kebudayaan Sunda. Pewarisan
kebudayaan yang merupakan proses belajar diistilahkan dengan sosialisasi.
Sosialisasi pertama kali dilakukan di dalam keluarga. Dengan demikan generasi
berikutnya akan menjadi pewaris kebudayaan yang diajarkan oleh orang tua-orang
tua mereka.
Masyarakat yang menghasilkan kebudayaan memiliki
arti bahwa kebudayaan adalah milik bersama. Kebudayaan dijadikan standar atau
pedoman berperilaku dalam masyarakat. Mana yang cocok dan mana yang tidak. Hal
ini akan memberi makna pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Suatu perilaku yang dianggap tidak cocok dalam sebuah
kebudayaan akan dianggap menyimpang atau devian. Walau terjadi
penyimpangan namun seringkali hal tersebut tidak melanggar kaidah hukum atau
norma dalam masyarakat. Pada derajat tertentu perilaku penyimpangan tersebut
sangat mungkin masih berada dalam koridor kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai
contoh, seorang anak punk dalam kehidupan sehari-hari pergaulannya
dianggap berbeda dengan sebayanya, di lain sisi, dalam pergaulannya ia masih
menggunakan bahasa ibu, menggunakan peralatan hidup yang juga dipakai oleh
anggota masyarakat banyak.
Beberapa ahli menyetujui bahwa kebudayaan merupakan
perangkat yang bersifat abstrak. Semisal tata aturan berhubungan dengan orang
lain apakah dapat dilihat? Hubungan antar orang dapat terlihat namun tata
aturan yang mengatur dan mengikat orang-orang tersebut bersifat abstrak “berada
di belakang” perilaku yang terbentuk. Para ahli lain berpendapat bahwa
kebudayaan tidak selalu berupa hal yang abstrak melainkan nyata. Perilaku yang terbentuk
merupakan kebudayaan pula begitupun hasil-hasil dari perilaku yang bersifat
materi merupakan kebudayaan bila mengacu pada definisi-definisi yang telah
disebutkan. Kebudayaan bersifat abstrak bila berada pada ranah ide. Kebudayaan
kemudian menjadi riil saat ide diejawantahkan dalam bentuk perilaku dan materi
yang terwujud. Kebudayaan dapat bersifat ideal dan riil.
Wujud kebudayaan tersusun atas tiga elemen
(Koentjaraningrat, 1991). Betapapun kompleksnya kebudayaan tersebut pada
hakikatnya akan selalu mengandung 3 elemen yang terdiri dari :
1. Ide atau gagasan
2. Perilaku
3. Artefak
Kebudayaan akan
selalu dimulai dengan ide atau gagasan yang merupakan potensi terbesar manusia
dan yang membedakannya dengan hewan. Tidak ada satu kebudayaan yang tidak
didasarkan pada ide. Ide yang digagas dalam pikiran manusia dilanjutkan dengan
tindakan atau gerak tubuh manusia yang dinyatakan sebagai perilaku (tingkah
laku yang telah berpola dan membentuk konfigurasi tingkah laku yang mantap).
Sangat mungkin dari gerak tubuh tersebut manusia menghasilkan suatu artefak
atau materi, atau untuk menunjang gerak tubuh, manusia bergagasan untuk
membuatnya (perilaku membuat artefak).
B.1. UNSUR-UNSUR
KEBUDAYAAN
Upaya para ahli dalam menelaah kebudayaan menghasilkan perumusan mengenai
unsur-unsur di setiap kebudayaan dalam masyarakat. Adalah C. Kluckhohn (1953)
dalam karyanya berjudul Universal Categories of Culture menguraikan
unsur yang universal terdapat dalam kebudayaan, yaitu:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Sistem pengorganisasian
masyarakat
4. Sistem mata pencaharian
5. Sistem teknologi
6. Sistem religi
7. Sistem seni
Ke-tujuh unsur
kebudayaan di atas seolah masing-masing berdiri sendiri. Pada kenyataannya
tidak demikian. Unsur-unsur kebudayaan saling terkait satu sama lain secara
fungsional. Urutan-urutan unsur kebudayaan tidaklah mutlak demikian; untuk
mempermudah bagaimana manusia/masyarakat “bekerja dalam sistem kebudayaan”,
bertitiktolak dari bahasa, maka perhatikan ilustrasi berikut:
Bahasa dipergunakan manusia untuk mengkonsepsikan sesuatu
hal, fenomena atau peristiwa yang membentuk sistem pengetahuan. Melalui bahasa,
sistem pengetahuan dikodifikasi (mengalami proses pengkodean) untuk dilafalkan
dalam aktivitas sehari-hari. Manusia pada prinsipnya akan berusaha dekat dengan
manusia lain melalui proses komunikasi, untuk menjalankan proses komunikasi
antar manusia, dipergunakan pula bahasa. Bahasa dan sistem pengetahuan
membentuk cara manusia berhimpun dalam suatu kelompok. Kelompok pada hakikatnya
merupakan sistem pembagian peran dan fungsi anggotanya yang dimaknai sebagai
pengorganisasian masyarakat. Hal yang sangat penting dibutuhkan oleh manusia
adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup (pangan, sandang, dan lainnya) yang
bergantung pada aktivitas kerja manusia-manusia lain dalam suatu
pengorganisasian masyarakat atau membentuk spesialisasi pemenuhan kebutuhan,
yakni membentuk sistem mata pencaharian. Sistem mata pencaharian dalam
aktivitasnya membutuhkan pengetahuan mengenai alat-alat bantu yang mempermudah
aktivitas mata pencaharian. Disusunlah suatu sistem peralatan atau teknologi
yang tidak lepas dari penamaan peralatan (bahasa), pengetahuan mengenai cara
pembuatan dan penggunaan (pengetahuan), siapa yang mampu membuat
(pengorganisasian), dan siapa yang menggunakan (mata pencaharian). Manusia
selalu mempercayai adanya kekuatan supranatural yang lebih kuat yang dianggap
mampu memberikan mereka berkah atas kelimpahan hasil-hasil yang dibutuhkan oleh
hidup manusia, baik diciptakan maupun atas dasar keimanan (wahyu), manusia
selalu mengenal sistem religi. Sistem religi dalam aktivitas yang paling
sederhana adalah penyembahan. Sesuatu yang disembah tentu saja harus dihormati,
dihargai, dan diberi yang terbaik atau terindah yang terangkum dalam estetika
atau sistem kesenian.
Titik kritis dari ketujuh unsur di atas adalah sistem religi yang biasa
diterjemahkan menjadi agama. Untuk menghindarkan dari bias pandangan bahwa
seolah-olah agama diciptakan manusia berdasarkan ke-tujuh unsur tersebut. Meski
beberapa agama atau kepercayaan memang benar adanya merupakan produk manusia,
dalam hal ini, ketujuh unsur tersebut adalah yang selalu ditemukan dalam setiap
masyarakat dan bukan berarti bahwa agama merupakan produk manusia. Saudara
dapat mengamati bagaimana manusia tidak menciptakan agama namun membuat
ritus-ritus, yang bisa jadi, tidak digariskan dalam suatu agama.
B.3. SIFAT KEBUDAYAAN
Suatu kebudayaan hanya hidup dalam suatu kelompok masyarakat tertentu saja.
Sebagai suatu cara hidup, kebudayaan hanya disandang oleh masyarakat yang
menganggap cocok suatu kebudayaan. Cara hidup setiap masyarakat berbeda-beda,
contohnya antara manusia yang bermukim di daerah kutub utara dengan manusia
yang tinggal di gurun pasir akan mengembangkan cara hidup yang berbeda. Atau
antara manusia yang tinggal di daerah perkotaan dengan daerah perdesaan tentu
akan mengembangkan cara hidup yang berlainan. Perlu diingat bahwa kebudayaan
atau budaya merupakan respon adaptif manusia terhadap lingkungan alam.
Kebudayaan sebagai seperangkat aturan atau standar manusia dalam
berperilaku di setiap masyarakat bisa saja berbeda. Hal ini didasarkan pada
kesesuaian kebutuhan, kepentingan, dan tujuan dari suatu masyarakat. Pembedaan
terletak pada standar-standar yang diterapkan dalam perilaku masyarakat baik
secara komunal maupun individual.
Karena hal diatas maka sifat kebudayaan adalah relatif. Relatif memiliki
makna tidak dapat diperbandingkan antara kebudayaan A dan B mana yang lebih
bagus. Tidak ada satu kebudayaan yang lebih bagus dibandingkan dengan
kebudayaan lain disebabkan kebudayaan merupakan cara hidup suatu masyarakat dan
dijadikan standar hanya bagi masyarakat yang bersangkutan.
Tetapi pada kenyataannya seringkali orang melakukan salah kaprah terhadap
kebudayaan. Beberapa anggota masyarakat menerapkan standar kebudayaannya
terhadap kebudayaan lain. Banyak orang memiliki penilaian rendah terhadap
kebudayaan lain selain kebudayaan yang disandangnya. Pemahaman kebudayaan diri
lebih tinggi daripada kebudayaan lain disebut dengan istilah etnosentrisme.
Pada muaranya etnosentrisme melahirkan pandangan tentang kebudayaan lain yang
disebut stereotipe. Lebih jauh sikap etnosentris dan stereotipe memunculkan
cacat pandang atau stigma terhadap masyarakat atau kebudayaan lain.
Di Indonesia gejala etnosentrisme telah berkembang secara nyata dalam
bentuk kebijakan pembangunan negara. Standar penduduk dan nilai-nilai Jawa
dijadikan landasan pembangunan negara dan merusak sendi-sendi
kebudayaan-kebudayaan lain di luar Jawa, alih-alih pemerataan pembangunan.
Banyak masyarakat adat yang memiliki cara hidup yang khas yang berbeda standar
hidup dengan penduduk Jawa telah menjadi korban etnosentrisme dalam bentuk
kebijakan ini. Masyarakat-masyarakat adat di Papua yang mengkonsumsi sagu dan
sejenis umbi-umbian sebagai bahan pangan pokok mengalami “Jawanisasi”. Bahan
pangan pokok masyarakat adat tersebut diganti menjadi beras/nasi, akibatnya
masyarakat adat itu menjadi tidak mampu menjadi masyarakat produktif.
Kebijakan yang salah kaprah ini terjadi juga dalam hal permukiman.
Masyarakat adat yang tidak mengenal rumah tembok (semisal masyarakat Baduy atau
Bajau yang bermukim terapung) “dirumahkan” berstandar pada kebanyakan penduduk
Jawa. Akibatnya dalam waktu singkat, rumah-rumah tersebut ditinggalkan karena
tidak cocok dengan cara hidup masyarakat-masyarakat adat tersebut. Apalagi bila
hal ini terjadi pada sekelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan berpindah
tempat.
Kesalahkaprahan kebijakan pembangunan di Indonesia sangat dimungkinkan
karena ketidakpahaman akan sifat kebudayaan yang relatif, tidak dapat
diperbandingkan secara baik atau buruk. Tidak hanya masyarakat awam, golongan
terpelajarpun masih seringkali terjebak dalam pemahaman yang salah kaprah.
Bagaimanapun, perlakuan standar kebudayaan diri yang diterapkan pada kebudayaan
orang lain sama sekali tidak benar dan melanggar kedaulatan kebudayaan itu
sendiri.
C. INDIVIDU, MASYARAKAT,
DAN KEBUDAYAAN
Tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat dan tidak ada
masyarakat tanpa individu. Sekumpulan individu membentuk masyarakat dan
kebudayaan. Kebudayaan adalah milik bersama individu dan dijadikan standar
kehidupan. Kebudayaan pada sifat yang abstrak atau ide memuat diantaranya tata
aturan berperilaku yang lazim bagi setiap individu di dalam masyarakat,
terciptalah norma-norma sebagai pengendali perilaku individu dalam
bermasyarakat. Pada sifat yang kongkrit, kebudayaan tersusun atas
perilaku-perilaku yang ditampakkan individu dan juga wujud material yang dipergunakan
atau dijadikan lahan kehidupan individu. Sebuah sepeda motor merupakan wujud
kongkret suatu kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai alat transportasi.
Rumah, kantor, dan lain-lain pun demikian, artinya tidak ada individu yang
tidak dinaungi oleh suatu kebudayaan.
Penyimpangan terhadap standar internal masyarakat bisa
saja terjadi. Terlebih di era pascamodern seperti sekarang ini.
Individu-individu seolah mendapat otonomi yang sangat luas untuk berperilaku
atau mengekspresikan perilakunya. Pada masa awal terjadinya penyimpangan
perilaku mungkin saja membuat masyarakat luas menjadi “geger” karena tidak
biasa. Bila perilaku penyimpangan tersebut dalam prakteknya dapat tetap
langgeng dan malah diikuti oleh banyak individu lain anggota masyarakat, secara
internal penyimpangan tersebut malah bisa jadi diterima luas dan menjadi salah
satu item perbendaharaan kebudayaan suatu masyarakat tersebut, sejauh tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat.
Terlepas dari terjadi atau tidaknya penyimpangan dalam
masyarakat, kebudayaan yang menaungi individu memunculkan corak kepribadian
massal yang bercirikan pada kebudayaan yang dimaksud. Suatu masyarakat
berbudaya di dalamnya tersusun atas individu-individu yang memiliki kepribadian
kolektif yang relatif sama karena standar kebudayaan. Disadari atau tidak, kita
merupakan produk pewarisan kebudayaan, perilaku yang dimunculkan kurang lebih
sama dengan individu lain yang sekebudayaan. Karenanya antara individu,
masyarakat, dan kebudayaan akan selalu saling bertautan, tidak terlepas satu
sama lainnya dan membentuk identitas kepribadian
massal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar