A. PARADIGMA FAKTA SOSIAL
Fakta sosial inilah yang
menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai ‘barang sesuatu’ (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari
seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni
(spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar
pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
- Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
- Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini bersifat inter subjektif yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus
menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah
fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,
masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih
terperinci fakta sosial itu terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial,
peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter M.Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial
:
1.
Nilai-nilai umum ( common
values )
2.
Norma yang terwujud dalam
kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang
tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1.
Teori
Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order)
dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep
utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan
keseimbangan.
2.
Teori Konflik, yaitu teori
yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat
senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang
terus menerus diantar unsur-unsurnya.
3.
Teori Sistem, dan
4.
Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan
terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode
yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi
menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode
itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta
sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
B.
PARADIGMA DEFINISI SOSIAL
Paradigma pada definisi ini
mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar
hubungan sosial. Inti
tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang
dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti
subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori
yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi
(action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism),
dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori di atas mempunyai
kesamaan ide dasar, yaitu
manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu
dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk
bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi
didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan,
menurut ketiga teori ini,
merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran
perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa
penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini
membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif
bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan
yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta
sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh
berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya.
Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang
terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh
kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).
C.
PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Seperti yang dipaparkan
pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup
prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia
dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut
paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor
lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor
lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Jadi
terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi
dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku
memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu
kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh
sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia
lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi
sosial.
Ada dua teori yang termasuk
kedalam paradigma perilaku sosial.
- Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
- Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan:
· Pandangannya tentang emergence
· Pandangannya tentang psikologi
· Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini
dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya
yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih
banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.
thx.... akhirnya pr gue siap juga ......
BalasHapus